Komunitas Filsafat™ » Beranda Filsafat » » Filsafat Peneratas Pengetahuan, Benarkah?

Filsafat Peneratas Pengetahuan, Benarkah?

Gaosur Rohim Friday, January 21, 2011 2 Comments
Filsafat Peneratas Pengetahuan, Benarkah?
Filsafat itu memperlihatkan kepada kita, apa yang hidup dalam diri manusia yang telah menjadi sadar. Filsafat itu menjelaskan kepada kita, apa yang dicari manusia pada zaman tertentu, apa yang hidup dan bergerak di dalam bagian terdalam hidup manusia pada suatu zaman. Ternyata bahwa tiap zaman memiliki filsafatnya sendiri-sendiri, yang berusaha menurut keyakinannya masing-masing untuk memperbaiki hidup manusia.


Meminjam pemikiran William James Durant alias WILL DURANT (1885-1981) dalam bukunya The Story of Philosophy, filsafat dapat diibaratkan sebagai pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri.1). Pasukan infanteri ini adalah sebagai pengetahuan, yang diantaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang "memenangkan" tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu, ilmulah yang membelah gunung, merambah hutan, dan menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan. Setelah penyerahan dilakukan, maka filsafat pun pergi. Dia kembali "menjelajah" laut lepas, berspekulasi, dan meneratas.

Seorang yang skeptis, mungkin akan berkata : "Sudah lebih dari 2.000 tahun orang berfilsafat, namun selangkahpun dia tidak maju....". Oke Boss, sepintas lalu kelihatannya memang demikian, namun kesalahpahaman ini sebenarnya dapat segera dihilangkan sekiranya kita tahu bahwa filsafat adalah marinir yang merupakan pioneer, bukan pengetahuan yang bersifat memerinci. Filsafat menyerahkan daerah-daerah yang sudah dimenangkannya kepada ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.

Semua ilmu, baik ilmu-ilmu alam (natural sciences) maupun ilmu-ilmu sosial (social sciences), bertolak dari pengembangannya bermula sebagai filsafat. Misalnya seperti ISAAC NEWTON (1642-1727), menulis hukum-hukum fisikanya sebagai Philosophiae Naturalis Principia Mathematica pada tahun 1686. Dan ADAM SMITH (1723-1790) yang juga dikenal sebagai "bapak ilmu ekonomi", menulis buku yang berjudul The Wealth of Nations pada tahun 1776, dalam fungsinya sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow, Skotlandia.

Newtonlah orangnya, yang telah memberikan alas kepada fisika yang klasik, yang menjanjikan suatu perkembangan yang tiada batasnya. Hukum-hukum fisika itu kemudian diterapkan kepada ilmu-ilmu pengetahuan yang lainnya. Hal ini disebabkan karena Ilmu Pasti, Biologi, Filologi, Sejarah, dll.., telah mencapai hasil yang sangat penting. Harapan manusia diarahkan kepada filsafat. Hal ini menyebabkan filsafat tidak dapat berkembang dengan baik. Seberapapun manusia mengusahakan filsafat, ilmu ini disamakan dengan ilmu pengetahuan alam dalam cakupannya yang seluas-luasnya. Kegiatan "berpikir" disesuaikan dengan petunjuk-petunjuk yang telah diberikan Newton.

Metode yang dipakai di dalam filsafat biasanya adalah induksi. Manusia berpangkal dari gejala-gejala, dan mencoba mengembalikannya kepada beberapa asas dan hukum yang bersifat umum, sesuai dengan cara Newton dalam menyelidiki alam yang "tidak" organis ini.

Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural philosophy), sedangkan nama asal ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy). Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu, maka terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini, maka bidang penjelajahan filsafat menjadi lebih sempit, tidak lagi menyeluruh, melainkan sektoral. Di sini manusia tidak lagi mempermasalahkan masalah moral secara keseluruhan, melainkan hanya sekedar dikaitkan dengan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, yang kemudian berkembang menjadi ilmu ekonomi.

Walaupun demikian, dalam taraf ini, secara konseptual, sebenarnya ilu masih "mendasarkan diri" kepada norma-norma filsafat. Ekonomi, misalnya, masih merupakan penerapan etika (applied ethics) dalam kegiatan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Metode yang dipakai adalah normatif dan deduktif berdasarkan asas-asas moral yang filsafati.

Pada tahap selanjutnya, ilmu menyatakan dirinya otonom dari konsep-konsep filsafat, dan mendasarkan diri sepenuhnya kepada hakikat alam sebagaimana adanya. Pada tahap peralihan, ilmu masih mendasarkan diri kepada norma-norma yang seharusnya. Sedangkan pada tahap terakhir, ilmu mendasarkan diri kepada penemuan alamiah sebagaimana adanya.

Dalam menyusun pengetahuan tentang alam dan isinya ini, maka manusia tidak lagi mempergunakan metode yang bersifat normatif dan deduktif, melainkan hanya sekedar "kombinasi" antara deduktif dan induktif, dengan jembatan yang berupa "pengajuan hipotesis" yang dikenal sebagai metode logico-hypothetico-verifikatif. (Tunggu pembahasan selanjutnya dalam Metode Ilmiah). William James Durant alias WILL DURANT (1885-1981) dalam bukunya The Story of Philosophy, juga mengatakan bahwa : "Tiap-tiap ilmu dimulai dengan filsafat, dan diakhiri dengan seni. Muncul dalam hipotesis, dan berkembang ke keberhasilan....". (Will Durant, The Story of Philosophy, 1933), hlm. 2.

Seorang yang dikenal dengan tokoh filsafat Positivisme, yakni AUGUSTE COMTE (1798-1857), dalam bukunya Philosophy, Religion and Science, membagi tiga tingkat perkembangan pengetahuan tersebut ke dalam : tahap religius, tahap metafisik, dan tahap positif.

Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia itu berlangsung dalam 3 tahap (3 zaman), yakni :

  1. Tahap Teologis (Zaman Religius)
  2. Tahap Metafisik (Zaman Metafisis)
  3. Tahap Ilmiah (Zaman Positif)

Perkembangan yang demikian itu, berlaku bagi perkembangan pemikiran perorangan maupun bagi perkembangan pemikiran seluruh ummat manusia.

1. Tahap Teologis (Zaman Religius)
Pada zaman/tahap teologis ini, manusia mengarahkan rohnya kepada hakikat 'bathiniah' segala sesuatu, kepada "sebab pertama" dan "tujuan terakhir" segala sesuatu. Jadi, pada zaman/tahap ini, manusia sangat percaya kepada kemungkinan adanya pengetahuan atau pengenalan yang mutlak. Oleh karena itu, manusia berusaha memilikinya. Mereka yakin, bahwa dibelakang tiap-tiap kejadian tersirat suatu pernyataan-pernyataan yang bersifat khusus.

Pada taraf pemikiran ini, terbagi dalam 3 tahap, yakni : tahap pertama yaitu tahap yang paling bersahaja atau primitif, ketika manusia menganggap bahwa setiap benda memiliki jiwa (animisme); tahap kedua yaitu tahap ketika manusia menurunkan kelompok-kelompok hal-hal tertentu, seluruhnya masing-masing diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa, sehingga tiap kawasan gejala-gejala mempunyai i'tikadnya sendiri-sendiri (politeisme); dan tahap ketiga adalah merupakan tahap yang tertinggi, yaitu di mana ketika manusia "mengganti" i'tikadnya yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi, yakni dalam monoteisme.

2. Tahap Metafisik (Zaman Metafisis)
Pada tahap ini sebenarnya manusia hanya mewujudkan suatu perubahan (reformasi) saja dari tahap teologis (religius). Karena, kekuatan-kekuatan yang bersifat adikodrati hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan yang bersifat abstrak, dengan pengertian-pengertian, atau dengan pengada-pengada yang bersifat lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum yang disebut alam. Dan yang dipandang sebagai "asal segala penampakan" atau gejala-gejala yang bersifat khusus.

3. Tahap Ilmiah (Zaman Positif)
Sedangkan pada tahap/zaman positif ini, adalah zaman ketika manusia tahu bahwa tak ada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang bersifat mutlak (absolute), baik pengenalan teologis (religius) maupun pengenalan metafisik (metafisis). Manusia tidak mau lagi melacak asal usul dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakikat yang sejati (bil quwwah) dari "segala sesuatu" yang berada dibelakang "segala sesuatu".

Nah, pada tahap ilmiah ini, manusia mulai berusaha menemukan hukum-hukum "kesamaan" dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang telah dikenal, atau yang disajikan kepadanya, yaitu dengan "pengamatan" dan dengan memakai akalnya masing-masing.

Pada tahap ini, pengertian "menerangkan" berarti : fakta-fakta yang bersifat khusus dihubungkan dengan suatu fakta yang bersifat umum. Tujuan tertinggi dari tahap/zaman ini akan tercapai apabila semua gejala telah dapat disusun dan diatur dibawah suatu fakta yang bersifat umum saja (misalnya : gaya berat).

Kesimpulan :

  • Dalam tahap pertama, yakni tahap teologis (religius), maka hanya asas-asas religilah yang dijadikan "postulat ilmiah", sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabatan dari ajaran-ajaran religi.
  • Pada tahap kedua, yakni tahap metafisik (metafisis), manusia mulai berspekulasi tentang metafisika (keberadaan) wujud yang menjadi obyek (maudhu') penelaahan yang terbebas dari dogma religi, serta mengembangkan sistem pengetahuan diatas dasar postulat metafisik tersebut.
  • Sedangkan pada tahap ketiga, yakni tahap ilmiah (positif), adalah tahap pengetahuan ilmiah (ilmu), di mana asas-asas yang dipergunakannya pun diuji secara positif dalam proses suatu "verifikasi" yang bersifat obyektif.






1. William James Durant, The Story of Philosophy (New York : Simon & Schuster, 1933).







2 comments:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih.
      Tolong jangan menyertakan link hidup lagi ya sob.

      Delete

Komentar, kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa kami terima dengan tangan terbuka.
Komentar Anda akan dianggap SPAM jika:
- Menyematkan Link Aktif
- Mengandung dan/atau Menyerang SARA
- Mengandung Pornografi

Tidak ada CAPTCHA dan Moderasi Komentar di sini.

 
Copyright © 2008 - 2014 Komunitas Filsafat™.
TOS - Disclaimer - Privacy Policy - Sitemap XML - DMCA - All Rights Reserved.
Hak Paten Template pada Creating Website - Modifikasi oleh Gaosur Rohim.
Didukung oleh Blogger™.