Seni terpakai ini pada hakikatnya mempunyai dua ciri utama. Pertama, bersifat deskriptif dan fenomenologis. Kedua, ruang lingkup "terbatas". Sifat deskriptif ini mencerminkan proses pengkajian yang menitikberatkan kepada penyelidikan gejala-gejala yang bersifat empiris, tanpa kecenderungan untuk perkembangan postulat yang bersifat teoretis-atomistis. Jadi dalam seni terapan, kita tidak mengenal konsep seperti "gravitasi" atau "kemagnetan" yang bersifat teoretis. Sifat terbatas dari seni terapan juga tidak menunjang berkembangnya teori-teori yang bersifat umum, seperti teori Gravitasi Newton dan teori Medan Elektromagnetik Maxwell, sebab tujuan analisisnya bersifat praktis.
Di sinilah kita menemukan suatu mata rantai yang penting sekali dalam suatu pengembangan ilmu, mengapa ada peradaban yang mampu mengembangkan ilmu secara cepat ? Mengapa ada peradaban yang secara historis mempunyai tingkat teknologi yang tinggi, namun tetap terbelakang dalam bidang keilmuan ? Jawab dari pertanyaan ini mungkin dapat dicari dari pola perkembangan selanjutnya dari pengetahuan yang merupakan seni terapan ini. Pada peradaban tertentu, perkembangan seni terapan ini sifatnya kuantitatif, artinya perkembangannya ditandai dengan terkumpulnya lebih banyak lagi pengetahuan-pengetahuan yang sejenis. Sedangkan pada peradaban lain, perkembangannya bersifat kualitatif, artinya dikembangkan konsep-konsep baru yang bersifat mendasar dan teoretis.1)
Sebagai ilustrasi, katakanlah misalnya dua tipe peradaban tersebut sedang mencari obat penyambuh kanker. Peradaban yang berorientasi pada seni terapan, akan melakukan penyelidikan secara mencoba-coba dari bermacam-macam daun-daunan, atau jenis obat lainnya tanpa ada konsep yang jelas mengenai kegiatannya. Sebaliknya, sebuah peradaban ilmiah akan memusatkan perhatiannya pada penemuan konsep yang akan mengarahkan kepada kegiatan selanjutnya.
Mungkin inilah sebabnya mengapa sebuah peradaban meskipun mempunyai kemampuan dalam seni terapan yang tinggi tidak mampu mengembangkan diri di bidang keilmuan, sebab salah satu "jembatan" yang menghubungkan antara seni terapan dengan ilmu dan teknologi adalah pengembangan konsep teoretis yang bersifat mendasar, yang selanjutnya dijadikan tumpuan untuk pengembangan pengetahuan ilmiah yang bersifat integral. Pengetahuan tentang obat-obatan tradisional, misalnya, yang kemanjurannya memang terbukti tidak menjurus ke arah berkembangnya farmakologi, sebab tidak ada usaha untuk lebih jauh mengajukan penjelasan teoretis yang asasi mengenai proses yang terjadi. Dengan demikian, maka pengetahuan yang satu terpisah dengan pengetahuan yang lain, tanpa diikat oleh suatu konsep yang mampu menjelaskan secara keseluruhan.
Jadi kalau obat-obatan tradisional berusaha menyembuhkan kanker dengan berbagai macam ramuan dan berbagai campuran secara mencoba-coba, maka farmakologi modern berusaha menembus kemacetan dalam hal pengobatan penyakit ini lewat pengembangan konsep dasar dalam perkembangan sel, terutama dalam bidang keilmuan Biologi Molekular. Ilmu memang kurang berkembang dalam peradaban Timur, karena aspek kulturalnya yang tidak terlalu menganggap penting terhadap Cara Berpikir Ilmiah. Bagi masyarakat Timur, maka filsafat yang dianggap paling penting adalah "berpikir etis", yang menghasilkan kearifan (wisdom).2)
Akal sehat dan cara coba-coba mempunyai peranan penting dalam usaha manusia untuk menemukan penjelasan mengenai berbagai macam gejala alam. Ilmu dan Filsafat dimulai dengan akal sehat, sebab tidak mempunyai "landasan" permulaan lain untuk berpijak.3) Setiap peradaban, seperti apa pun primitifnya, pasti mempunyai kumpulan pengetahuan yang berupa akal sehat.4)
JOHN HERMAN RANDALL (-) dan JUSTUS BUCHLER (-) mendefinisikan akal sehat sebagai pengetahuan yang diperoleh lewat pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan.5) Sedangkan karakteristik akal sehat diberikan oleh HAROLD A. TITUS (-) sebagai berikut :
Berdasarkan "akal sehat", adalah amat sangat "masuk akal" setelah beberapa kali mengalami terbit dan terbenamnya matahari untuk menyimpulkan bahwa matahari berputar mengelilingi bumi. Itulah sebabnya banyak penemuan ilmiah yang mula-mula sulit diterima oleh masyarakat, sebab "bertentangan" dengan akal sehat, seperti penemuan bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi, melainkan sebaliknya.
Perkembangan selanjutnya adalah tumbuhnya Rasionalisme yang secara kritis mempermasalahkan dasar-dasar pemikiran yang bersifat mitos. Menurut KARL R. POPPER (-) maka tahap ini adalah penting sekali dalam sejarah berpikir manusia yang menyebabkan ditinggalkannya tradisi yang bersifat dogmatik, yang hanya memperkenankan hidupnya satu doktrin yang digantikan dengan doktrin yang bersifat majemuk (pluralistik) yang masing-masing mencoba menemukan kebenaran secara analisis yang bersifat kritis. 7) Jadi pada dasarnya, Rasionalisme memang bersifat majemuk dengan berbagai kerangka pemikiran yang dibangun secara deduktif di sekitar obyek pemikiran tertentu.
Dalam menafsirkan suatu obyek tertentu, maka berkembanglah berbagai pendapat, aliran, teori, dan madzhab filsafat 8). Dalam keadaan seperti ini, maka sulit sekali bagi kita untuk memilih mana dari sejumlah penjelasan yang rasional tersebut yang memang benar, sebab semuanya dibangun di atas argumentasi yang bersifat koheren. Mungkin saja kita bisa mengatakan bahwa argumentasi yang benar adalah penjelasan yang mempunyai kerangka berpikir yang paling meyakinkan. Namun hal ini pun tidak bisa memecahkan persoalan, sebab kriteria penilaiannya bersifat nisbi dan tidak bisa terlepas dari unsur subyektif.
Di samping itu, Rasionalisme dengan pemikiran deduktif-nya sering menghasilkan kesimpulan yang benar jika ditinjau dari alur-alur logikanya, tapi ternyata sangat bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya. Irsathotholees alias ARISTOTELES (384-322 S.M.), misalnya, menyimpulkan bahwa wanita mempunyai gigi yang jumlahnya lebih sedikit bila dibandingkan dengan pria. Padahal, gerutu BERTRAND RUSSELL (-), buat orang seperti dia yang pernah kawin dua kali seharusnya lebih tahu tentang itu.9)
Kelemahan dalam berpikir rasional seperti itulah yang menimbulkan berkembangnya empirisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan yang benar itu didapat dari kenyataan pengalaman. Dipelopori oleh filsuf-filsuf Inggris, maka berkembanglah cara berpikir yang menjauhi spekulasi teoretis dan metafisis. Metafisika, menurut DAVID HUME (1711-1776 M.) adalah "khayal yang dibuat-buat" yang selayaknya "diumpamakan ke lidah api yang menjilat". Namun cara berpikir semacam ini pun tidak luput dari kelemahan, sebab atas dasar apa kita bisa menghubungkan berbagai faktor dari suatu hubungan kausalitas ?
Berdasarkan metode induktif yang didukung oleh teknik statistika yang paling rumit dengan mudah misalnya dapat disimpulkan bahwa "kambing kencing di Surabaya berkorelasi dengan banjirnya kota Jakarta". Namun apakah artinya semua ini ? Penjelasan apakah yang bisa diajukan oleh data empiris yang ternyata secara induktif menunjukkan korelasi ? Inilah salah penafsiran yang sering dilakukan oleh peneliti. Tujuan penelitian bukanlah menemukan korelasi yang bersifat statistis, melainkan hubungan yang variabel. Hubungan semacam ini mestinya didukung oleh argumentasi yang meyakinkan, dan baru diuji oleh teknik statistika yang relevan.
Semoga ada manfaatnya....!!!!
1. Jujun Suparjan Suriasumantri, Filsafat ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990), hlm. 110.
2. Gustave Weigel S. J. dan Arthur G. Madden, Knowledge: Its Values and Limits (Englewood Cliffs; N. J.: Prentice-Hall, 1961), hlm. 49.
3. Suriasumantri, op. cit., hlm. 111.
4. Bergen Evan, The Natural History of Nonsense (New York: Knopf, 1946), hlm. 47.
5. John Herman Randall, Jr, dan Justus Buchler, Philosophy: An Introduction (New York: Barnes & Noble, 1969), hlm. 64.
6. Harold A. Titus, Living Issues in Philosophy (New York: 1959), hlm. 34-35.
7. Karl R. Popper, Conjectures and Reputation (New York: Basic,1962), hlm. 151.
8. Suriasumantri, op. cit., hlm. 112.
9. Bertrand Russell, The Impact of Science upon Society (New York: Simon & Schuster, 1953), hlm. 7.
Di sinilah kita menemukan suatu mata rantai yang penting sekali dalam suatu pengembangan ilmu, mengapa ada peradaban yang mampu mengembangkan ilmu secara cepat ? Mengapa ada peradaban yang secara historis mempunyai tingkat teknologi yang tinggi, namun tetap terbelakang dalam bidang keilmuan ? Jawab dari pertanyaan ini mungkin dapat dicari dari pola perkembangan selanjutnya dari pengetahuan yang merupakan seni terapan ini. Pada peradaban tertentu, perkembangan seni terapan ini sifatnya kuantitatif, artinya perkembangannya ditandai dengan terkumpulnya lebih banyak lagi pengetahuan-pengetahuan yang sejenis. Sedangkan pada peradaban lain, perkembangannya bersifat kualitatif, artinya dikembangkan konsep-konsep baru yang bersifat mendasar dan teoretis.1)
Sebagai ilustrasi, katakanlah misalnya dua tipe peradaban tersebut sedang mencari obat penyambuh kanker. Peradaban yang berorientasi pada seni terapan, akan melakukan penyelidikan secara mencoba-coba dari bermacam-macam daun-daunan, atau jenis obat lainnya tanpa ada konsep yang jelas mengenai kegiatannya. Sebaliknya, sebuah peradaban ilmiah akan memusatkan perhatiannya pada penemuan konsep yang akan mengarahkan kepada kegiatan selanjutnya.
Mungkin inilah sebabnya mengapa sebuah peradaban meskipun mempunyai kemampuan dalam seni terapan yang tinggi tidak mampu mengembangkan diri di bidang keilmuan, sebab salah satu "jembatan" yang menghubungkan antara seni terapan dengan ilmu dan teknologi adalah pengembangan konsep teoretis yang bersifat mendasar, yang selanjutnya dijadikan tumpuan untuk pengembangan pengetahuan ilmiah yang bersifat integral. Pengetahuan tentang obat-obatan tradisional, misalnya, yang kemanjurannya memang terbukti tidak menjurus ke arah berkembangnya farmakologi, sebab tidak ada usaha untuk lebih jauh mengajukan penjelasan teoretis yang asasi mengenai proses yang terjadi. Dengan demikian, maka pengetahuan yang satu terpisah dengan pengetahuan yang lain, tanpa diikat oleh suatu konsep yang mampu menjelaskan secara keseluruhan.
Jadi kalau obat-obatan tradisional berusaha menyembuhkan kanker dengan berbagai macam ramuan dan berbagai campuran secara mencoba-coba, maka farmakologi modern berusaha menembus kemacetan dalam hal pengobatan penyakit ini lewat pengembangan konsep dasar dalam perkembangan sel, terutama dalam bidang keilmuan Biologi Molekular. Ilmu memang kurang berkembang dalam peradaban Timur, karena aspek kulturalnya yang tidak terlalu menganggap penting terhadap Cara Berpikir Ilmiah. Bagi masyarakat Timur, maka filsafat yang dianggap paling penting adalah "berpikir etis", yang menghasilkan kearifan (wisdom).2)
Akal sehat dan cara coba-coba mempunyai peranan penting dalam usaha manusia untuk menemukan penjelasan mengenai berbagai macam gejala alam. Ilmu dan Filsafat dimulai dengan akal sehat, sebab tidak mempunyai "landasan" permulaan lain untuk berpijak.3) Setiap peradaban, seperti apa pun primitifnya, pasti mempunyai kumpulan pengetahuan yang berupa akal sehat.4)
JOHN HERMAN RANDALL (-) dan JUSTUS BUCHLER (-) mendefinisikan akal sehat sebagai pengetahuan yang diperoleh lewat pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan.5) Sedangkan karakteristik akal sehat diberikan oleh HAROLD A. TITUS (-) sebagai berikut :
- Karena landasannya yang berakar pada adat dan tradisi, maka akal sehat cenderung untuk bersifat kebiasaan dan pengulangan.
- Karena landasannya yang berakar kurang sehat, maka akal sehat cenderung untuk bersifat kabur dan samar-samar.
- Karena kesimpulan yang ditariknya sering berdasarkan asumsi yang tidak dikaji lebih lanjut, maka akal sehat lebih merupakan pengetahuan yang tidak teruji.6)
Berdasarkan "akal sehat", adalah amat sangat "masuk akal" setelah beberapa kali mengalami terbit dan terbenamnya matahari untuk menyimpulkan bahwa matahari berputar mengelilingi bumi. Itulah sebabnya banyak penemuan ilmiah yang mula-mula sulit diterima oleh masyarakat, sebab "bertentangan" dengan akal sehat, seperti penemuan bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi, melainkan sebaliknya.
Perkembangan selanjutnya adalah tumbuhnya Rasionalisme yang secara kritis mempermasalahkan dasar-dasar pemikiran yang bersifat mitos. Menurut KARL R. POPPER (-) maka tahap ini adalah penting sekali dalam sejarah berpikir manusia yang menyebabkan ditinggalkannya tradisi yang bersifat dogmatik, yang hanya memperkenankan hidupnya satu doktrin yang digantikan dengan doktrin yang bersifat majemuk (pluralistik) yang masing-masing mencoba menemukan kebenaran secara analisis yang bersifat kritis. 7) Jadi pada dasarnya, Rasionalisme memang bersifat majemuk dengan berbagai kerangka pemikiran yang dibangun secara deduktif di sekitar obyek pemikiran tertentu.
Dalam menafsirkan suatu obyek tertentu, maka berkembanglah berbagai pendapat, aliran, teori, dan madzhab filsafat 8). Dalam keadaan seperti ini, maka sulit sekali bagi kita untuk memilih mana dari sejumlah penjelasan yang rasional tersebut yang memang benar, sebab semuanya dibangun di atas argumentasi yang bersifat koheren. Mungkin saja kita bisa mengatakan bahwa argumentasi yang benar adalah penjelasan yang mempunyai kerangka berpikir yang paling meyakinkan. Namun hal ini pun tidak bisa memecahkan persoalan, sebab kriteria penilaiannya bersifat nisbi dan tidak bisa terlepas dari unsur subyektif.
Di samping itu, Rasionalisme dengan pemikiran deduktif-nya sering menghasilkan kesimpulan yang benar jika ditinjau dari alur-alur logikanya, tapi ternyata sangat bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya. Irsathotholees alias ARISTOTELES (384-322 S.M.), misalnya, menyimpulkan bahwa wanita mempunyai gigi yang jumlahnya lebih sedikit bila dibandingkan dengan pria. Padahal, gerutu BERTRAND RUSSELL (-), buat orang seperti dia yang pernah kawin dua kali seharusnya lebih tahu tentang itu.9)
Kelemahan dalam berpikir rasional seperti itulah yang menimbulkan berkembangnya empirisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan yang benar itu didapat dari kenyataan pengalaman. Dipelopori oleh filsuf-filsuf Inggris, maka berkembanglah cara berpikir yang menjauhi spekulasi teoretis dan metafisis. Metafisika, menurut DAVID HUME (1711-1776 M.) adalah "khayal yang dibuat-buat" yang selayaknya "diumpamakan ke lidah api yang menjilat". Namun cara berpikir semacam ini pun tidak luput dari kelemahan, sebab atas dasar apa kita bisa menghubungkan berbagai faktor dari suatu hubungan kausalitas ?
Berdasarkan metode induktif yang didukung oleh teknik statistika yang paling rumit dengan mudah misalnya dapat disimpulkan bahwa "kambing kencing di Surabaya berkorelasi dengan banjirnya kota Jakarta". Namun apakah artinya semua ini ? Penjelasan apakah yang bisa diajukan oleh data empiris yang ternyata secara induktif menunjukkan korelasi ? Inilah salah penafsiran yang sering dilakukan oleh peneliti. Tujuan penelitian bukanlah menemukan korelasi yang bersifat statistis, melainkan hubungan yang variabel. Hubungan semacam ini mestinya didukung oleh argumentasi yang meyakinkan, dan baru diuji oleh teknik statistika yang relevan.
Semoga ada manfaatnya....!!!!
1. Jujun Suparjan Suriasumantri, Filsafat ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990), hlm. 110.
2. Gustave Weigel S. J. dan Arthur G. Madden, Knowledge: Its Values and Limits (Englewood Cliffs; N. J.: Prentice-Hall, 1961), hlm. 49.
3. Suriasumantri, op. cit., hlm. 111.
4. Bergen Evan, The Natural History of Nonsense (New York: Knopf, 1946), hlm. 47.
5. John Herman Randall, Jr, dan Justus Buchler, Philosophy: An Introduction (New York: Barnes & Noble, 1969), hlm. 64.
6. Harold A. Titus, Living Issues in Philosophy (New York: 1959), hlm. 34-35.
7. Karl R. Popper, Conjectures and Reputation (New York: Basic,1962), hlm. 151.
8. Suriasumantri, op. cit., hlm. 112.
9. Bertrand Russell, The Impact of Science upon Society (New York: Simon & Schuster, 1953), hlm. 7.
0 Comments:
Post a Comment
Komentar, kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa kami terima dengan tangan terbuka.
Komentar Anda akan dianggap SPAM jika:
- Menyematkan Link Aktif
- Mengandung dan/atau Menyerang SARA
- Mengandung Pornografi
Tidak ada CAPTCHA dan Moderasi Komentar di sini.