Konsep-konsep yang bersifat teoritis seperti telah disebutkan sebelumnya, karena sifatnya yang mendasar sering tidak langsung kentara kegunaan praktisnya. Secara logis, hal ini tidak sulit untuk dimengerti, sebab makin teoritis sebuah konsep maka makin jauh pula kaitan langsung konsep tersebut dengan gejala fisik yang nyata;[1] padahal kehidupan kita sehari-hari adalah berhubungan dengan gejala yang bersifat konkret tersebut.
Kegunaan praktis dari sebuah konsep yang bersifat teoritis, baru dapat dikembangkan jika konsep yang bersifat mendasar tersebut diterapkan pada masalah-masalah yang bersifat praktis. Dan dari pengertian inilah kita sering mendengar konsep dasar (basic concepts) dan konsep terapan (concept applied) yang juga diwujudkan dalam bentuk ilmu dasar (basic science) dan ilmu terapan (applied science) serta penelitian dasar (basic research) dan penelitian terapan (applied research).
Pengertian yang membedakan antara pernyataan yang bersifat dasar dan terapan ini harus kita miliki dengan baik, sebab kalau tidak, kita mungkin melakukan pilihan yang baik untuk jangka pendek, namun kurang baik untuk jangka panjang.[2] Misalnya, seringkali sebuah negara dalam kebijaksanaan pengembangan ilmu dan teknologinya terlalu menitikberatkan kepada penelitian dan ilmu terapan dengan melupakan pengembangan penelitian dan ilmu dasar.
Secara sepintas, hal ini memang menguntungkan, sebab penelitian dan ilmu terapan secara langsung mempunyai manfaat praktis yang berupa pemecahan-pemecahan masalah yang bersifat kongkrit. Namun kalau hal ini dilihat dalam perspektif jangka panjang, maka kemandegan dalam pengembangan ilmu-ilmu dasar akan mempunyai pengaruh yang serius, apalagi bila hal ini menyebabkan berkurangnya minat masyarakat untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Di berbagai negara sudah banyak terlihat tanda-tanda mengenai stagnasi di bidang ilmu-ilmu dasar ini.
Dalam ilmu-ilmu sosial pada umumnya maka pengembangan huum-hukum ilmiah sulit sekali dilakukan, dan pada hakikatnya "telah ditinggalkan".[3] Untuk tujuan meramalkan, ilmu-ilmu sosial mengunakan metode proyeksi, pendekatan struktural, analisis kelembagaan atau tahap-tahap perkembangan.[4] Kalau hal ini kita kembalikan kepada hakikat manusia yang demikian kompleks dengan serbaneka peranannya dalam masyarakat, serta variasi yang besar antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, maka gejala ini tidak begitu mengherankan.
Namun hal ini tidak begitu berarti bahwa metode ilmiah dari ilmu-ilmu sosial (social sciences) berbeda dengan metode ilmiah dari ilmu-ilmu alam (natural sciences). Keduanya tetap menggunakan metode ilmiah yang sama, namun dengan tahap penerapan dan teknik-teknik operasional yang berbeda. Batu-batuan koral akan mempunyai karakteristik yang sama, apakah dia berbeda di Gunung Papandayan (Garut) atau Ricky Mountain (USA), namun yang jelas, tukang yang mengambil batu-batuannya akan berbeda. Demikian juga teknik verifikasi untuk menentukan jenis batu-batuan apa yang ada di Planet Mars akan berbeda dengan teknik verifikasi bahwa tukang pengambil batu di Gunung Papandayan Garut adalah orang Cibatu.
Di samping hukum, teori keilmuan juga mengenal kategori pernyataan yang disebut prinsip. Prinsip dapat diartikan sebagai pernyataan yang berlaku secara umum bagi sekelompok gejala-gejala tertentu, yang mampu menjelaskan kejadian yang terjadi, misalnya hukum sebab-akibat sebuah gejala.[5] Dalam ilmu Ekonomi kita mengenal prinsip ekonomi, dan dalam ilmu Fisika kita mengenal prinsip kekekalan energi. Dengan prinsip-prinsip inilah kita mampu menjelaskan kejadian-kejadian yang terjadi dala ilmu ekonomi dan fisika. Beberapa disiplin keilmuan sering mengembangkan apa yang disebut postulat dalam menyusun teorinya.
Postulat adalah asumsi dasar yang kebenarannya kita terima tanpa dituntut pembuktiannya. Kebenaran ilmiah pada hakikatnya harus disahkan lewat sebuah proses yang disebut metode keilmuan. Postulat ilmiah ditetapkan tanpa melalui prosedur ini, namun ditetapkan secara begitu saja. Secara filsafati sebenarnya eksistensi postulat ini tidak sulit untuk dimengerti, mengapa kehadirannya menyimpang dari prosedur yang ada, sebab bukankah sebuah argumentasi harus didasarkan kepada sesuatu? Seperti jika kita ingin mengelilingi sebuah lingkaran, maka kita harus mulai dari sebuah titik; dan postulat adalah ibarat titik dalam lingkaran, yang eksistensinya kita tetapkan secara sembarang.
Meskipun demikian, harus ada alasan yang kuat dalam menetapkan sebuah postulat. Seperti kita memilih dari titik mana kita akan mengelilingi sebuah lingkaran, tentu saja kita mempunyai alasan mengapa kita mulai dari titik B dan bukan dari titik A. Namun sebagai postulat, maka kita tidak perlu membuktikan bahwa titik B adalah benar dan titik A adalah salah, tetapi sekedar menjelaskan bahwa jika kita mulai dari titik A (yang koordinatnya membentuk sudut nol derajat dengan sumbu vertikal lingkaran), maka kita akan berhenti pada sebuah titik tertentu yang letaknya di sebelah Utara bila dilihat dari pusat lingkaran.
Tentu saja jika kita mulai dari titik yang lain, maka akan berakhir pada titik yang berbeda. Di sini kita dapat menyimpulkan bahwa pada hakikatnya postulat adalah anggapan yang ditetapkan secara sembarang dengann kebenaran yang tidak dibuktikan. Sebuah postulat dapat diterima apabila ramalan yang bertumpu kepada postulat terebut kebenarannya dapat dibuktikan.
Bila postulat dalam pengajuannya tidak memerlukan bukti tentang kebenarannya, maka hal ini berlainan dengan asumsi yang harus ditetapkan dalam sebuah argumentasi ilmiah. Asumsi harus berbentuk pernyataan yang kebenarannya secara empiris dapat diuji. Seorang yang memegang prinsip "biar ngebut asal yahut", tentu akan sangat berbeda jalan pikirannya dengan seorang yang memegang prinsip "biar lambat asal selamat". Bukankah tidak tepat menerapkan prinsip "berani karena benar" untuk menghadapi bus kota yang secara serampangan membabat?
Pada awal perkembangan ilmu, ketika listrik masih sekedar "keanehan" yang dipertunjukkan dalam sirkus, ada orang yang bertanya kepada MICHAEL FARADAY (-), "Apakah gunanya listrik?". Memang beberapa teori yang sifatnya mendasar tidak mempunyai kegunaan praktis secara langsung. Baru setelah teori tersebut diterapkan kepada masalah-masalah praktis maka dapat dirasakan manfaatnya.
Diperlukan waktu yang cukup lama untuk dapat menerapkan penemuan-penemuan ilmiah yang baru kepada pemanfaatan yang berguna. Terdapat selang waktu selama 250 tahun antara percobaan yang pertama tentang magnet oleh WILLIAM GILBERT (-) dengan dikembangkannya teori elektromagnetik oleh JAMES CLERK MAXWELL (-) sekitar tahun 1870. Kemudian ada jangka waktu selama 50 tahun sebelumya percobaan MICHAEL FARADAY (-) tentang kawat yang mengantar arus listrik dapat dimanfaatkan secara komersil dalam pembuatan dinamo dan motor.
Penemuan HENRI BACQUEREL (-) tentang sinar-X baru dapat diterapkan dalam praktek setelah 25 tahun kemudian. Sedangkan proses pemecahan atom (nuclear fission) baru dapat dilakukan 11 tahun kemudian setelah teorinya diformulasikan. Dan 7 tahun setelah ditemukan kemungkinan pembuatan bom atom maka pada tahun 1945 dijatuhkan dua bom atom yang pertama di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, yang membuka babakan baru dalam peradaban manusia.[6]
Terdapat selang waktu yang makin lama makin pendek antara penemuan suatu teori ilmiah dengan penerapannya kepada masalah-masalah yang bersifat praktis. Dengan demikian, makin cepat manusia mengembangkan teknologi yang pada satu pihak ibarat "Dewi Penolong" yang penuh dengan berkah. Sedangkan di lain pihak, adalah "Fasisme dengan Senyuman".[7] Penerapan ilmu kepada teknologi memang tidak selalu merupakan rahmat bagi manusia, sebab di samping dapat digunakan untuk tujuan destruktif, juga dapat menimbulkan implikasi moral, sosial, dan kultural.[8]
Di samping Homo Sapiens (makhluk yang berpikir), manusia disebut juga Homo Faber (makhluk yang membuat peralatan), yang mencerminkan kaitan antara pengetahuan yang bersifat teoritis dengan teknologi yang bersifat praktis. Berbeda dengan pengetahuan lainnya, seperti seni yang bersifat estetis, maka ilmu adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh manusia untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam kehidupannya.
Menarik sekali dalam kesempatan ini untuk menggarisbawahi pendapat yang dikemukakan MOCHTAR LUBIS bahwa perbedaan dan persamaan ilmu seni patut diketahui dengan seksama dalam rangka meningkatkan sikap ilmiah suatu bangsa dan mengingat sikap kita yang masih berorientasi kepada nilai estetis.[9] Dalam buku Nitisastra, yang diperkirakan Profesor Poerbacaraka ditulis pada akhir zaman Majapahit, disebutkan, bahwa salah satu musuh bagi orang muda dalam menuntut ilmu adalah "gila asmara".
Demikian yang dapat kami rangkum mengenai Struktur Pengetahuan Ilmiah (Bag. 3). Semoga ada manfaatnya serta dapat menambah wawasan kita. Jika Anda ingin menambahkan atau sekedar mengoreksi, silahkan tuangkan di kotak komentar. Kritik dan saran yang bersifat membangun, senentiasa kami terima dengan tangan terbuka.
1. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1990), hlm. 151.
Secara sepintas, hal ini memang menguntungkan, sebab penelitian dan ilmu terapan secara langsung mempunyai manfaat praktis yang berupa pemecahan-pemecahan masalah yang bersifat kongkrit. Namun kalau hal ini dilihat dalam perspektif jangka panjang, maka kemandegan dalam pengembangan ilmu-ilmu dasar akan mempunyai pengaruh yang serius, apalagi bila hal ini menyebabkan berkurangnya minat masyarakat untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Di berbagai negara sudah banyak terlihat tanda-tanda mengenai stagnasi di bidang ilmu-ilmu dasar ini.
Dalam ilmu-ilmu sosial pada umumnya maka pengembangan huum-hukum ilmiah sulit sekali dilakukan, dan pada hakikatnya "telah ditinggalkan".[3] Untuk tujuan meramalkan, ilmu-ilmu sosial mengunakan metode proyeksi, pendekatan struktural, analisis kelembagaan atau tahap-tahap perkembangan.[4] Kalau hal ini kita kembalikan kepada hakikat manusia yang demikian kompleks dengan serbaneka peranannya dalam masyarakat, serta variasi yang besar antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, maka gejala ini tidak begitu mengherankan.
Namun hal ini tidak begitu berarti bahwa metode ilmiah dari ilmu-ilmu sosial (social sciences) berbeda dengan metode ilmiah dari ilmu-ilmu alam (natural sciences). Keduanya tetap menggunakan metode ilmiah yang sama, namun dengan tahap penerapan dan teknik-teknik operasional yang berbeda. Batu-batuan koral akan mempunyai karakteristik yang sama, apakah dia berbeda di Gunung Papandayan (Garut) atau Ricky Mountain (USA), namun yang jelas, tukang yang mengambil batu-batuannya akan berbeda. Demikian juga teknik verifikasi untuk menentukan jenis batu-batuan apa yang ada di Planet Mars akan berbeda dengan teknik verifikasi bahwa tukang pengambil batu di Gunung Papandayan Garut adalah orang Cibatu.
Di samping hukum, teori keilmuan juga mengenal kategori pernyataan yang disebut prinsip. Prinsip dapat diartikan sebagai pernyataan yang berlaku secara umum bagi sekelompok gejala-gejala tertentu, yang mampu menjelaskan kejadian yang terjadi, misalnya hukum sebab-akibat sebuah gejala.[5] Dalam ilmu Ekonomi kita mengenal prinsip ekonomi, dan dalam ilmu Fisika kita mengenal prinsip kekekalan energi. Dengan prinsip-prinsip inilah kita mampu menjelaskan kejadian-kejadian yang terjadi dala ilmu ekonomi dan fisika. Beberapa disiplin keilmuan sering mengembangkan apa yang disebut postulat dalam menyusun teorinya.
Postulat adalah asumsi dasar yang kebenarannya kita terima tanpa dituntut pembuktiannya. Kebenaran ilmiah pada hakikatnya harus disahkan lewat sebuah proses yang disebut metode keilmuan. Postulat ilmiah ditetapkan tanpa melalui prosedur ini, namun ditetapkan secara begitu saja. Secara filsafati sebenarnya eksistensi postulat ini tidak sulit untuk dimengerti, mengapa kehadirannya menyimpang dari prosedur yang ada, sebab bukankah sebuah argumentasi harus didasarkan kepada sesuatu? Seperti jika kita ingin mengelilingi sebuah lingkaran, maka kita harus mulai dari sebuah titik; dan postulat adalah ibarat titik dalam lingkaran, yang eksistensinya kita tetapkan secara sembarang.
Meskipun demikian, harus ada alasan yang kuat dalam menetapkan sebuah postulat. Seperti kita memilih dari titik mana kita akan mengelilingi sebuah lingkaran, tentu saja kita mempunyai alasan mengapa kita mulai dari titik B dan bukan dari titik A. Namun sebagai postulat, maka kita tidak perlu membuktikan bahwa titik B adalah benar dan titik A adalah salah, tetapi sekedar menjelaskan bahwa jika kita mulai dari titik A (yang koordinatnya membentuk sudut nol derajat dengan sumbu vertikal lingkaran), maka kita akan berhenti pada sebuah titik tertentu yang letaknya di sebelah Utara bila dilihat dari pusat lingkaran.
Tentu saja jika kita mulai dari titik yang lain, maka akan berakhir pada titik yang berbeda. Di sini kita dapat menyimpulkan bahwa pada hakikatnya postulat adalah anggapan yang ditetapkan secara sembarang dengann kebenaran yang tidak dibuktikan. Sebuah postulat dapat diterima apabila ramalan yang bertumpu kepada postulat terebut kebenarannya dapat dibuktikan.
Bila postulat dalam pengajuannya tidak memerlukan bukti tentang kebenarannya, maka hal ini berlainan dengan asumsi yang harus ditetapkan dalam sebuah argumentasi ilmiah. Asumsi harus berbentuk pernyataan yang kebenarannya secara empiris dapat diuji. Seorang yang memegang prinsip "biar ngebut asal yahut", tentu akan sangat berbeda jalan pikirannya dengan seorang yang memegang prinsip "biar lambat asal selamat". Bukankah tidak tepat menerapkan prinsip "berani karena benar" untuk menghadapi bus kota yang secara serampangan membabat?
Pada awal perkembangan ilmu, ketika listrik masih sekedar "keanehan" yang dipertunjukkan dalam sirkus, ada orang yang bertanya kepada MICHAEL FARADAY (-), "Apakah gunanya listrik?". Memang beberapa teori yang sifatnya mendasar tidak mempunyai kegunaan praktis secara langsung. Baru setelah teori tersebut diterapkan kepada masalah-masalah praktis maka dapat dirasakan manfaatnya.
Diperlukan waktu yang cukup lama untuk dapat menerapkan penemuan-penemuan ilmiah yang baru kepada pemanfaatan yang berguna. Terdapat selang waktu selama 250 tahun antara percobaan yang pertama tentang magnet oleh WILLIAM GILBERT (-) dengan dikembangkannya teori elektromagnetik oleh JAMES CLERK MAXWELL (-) sekitar tahun 1870. Kemudian ada jangka waktu selama 50 tahun sebelumya percobaan MICHAEL FARADAY (-) tentang kawat yang mengantar arus listrik dapat dimanfaatkan secara komersil dalam pembuatan dinamo dan motor.
Penemuan HENRI BACQUEREL (-) tentang sinar-X baru dapat diterapkan dalam praktek setelah 25 tahun kemudian. Sedangkan proses pemecahan atom (nuclear fission) baru dapat dilakukan 11 tahun kemudian setelah teorinya diformulasikan. Dan 7 tahun setelah ditemukan kemungkinan pembuatan bom atom maka pada tahun 1945 dijatuhkan dua bom atom yang pertama di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, yang membuka babakan baru dalam peradaban manusia.[6]
Terdapat selang waktu yang makin lama makin pendek antara penemuan suatu teori ilmiah dengan penerapannya kepada masalah-masalah yang bersifat praktis. Dengan demikian, makin cepat manusia mengembangkan teknologi yang pada satu pihak ibarat "Dewi Penolong" yang penuh dengan berkah. Sedangkan di lain pihak, adalah "Fasisme dengan Senyuman".[7] Penerapan ilmu kepada teknologi memang tidak selalu merupakan rahmat bagi manusia, sebab di samping dapat digunakan untuk tujuan destruktif, juga dapat menimbulkan implikasi moral, sosial, dan kultural.[8]
Di samping Homo Sapiens (makhluk yang berpikir), manusia disebut juga Homo Faber (makhluk yang membuat peralatan), yang mencerminkan kaitan antara pengetahuan yang bersifat teoritis dengan teknologi yang bersifat praktis. Berbeda dengan pengetahuan lainnya, seperti seni yang bersifat estetis, maka ilmu adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh manusia untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam kehidupannya.
Menarik sekali dalam kesempatan ini untuk menggarisbawahi pendapat yang dikemukakan MOCHTAR LUBIS bahwa perbedaan dan persamaan ilmu seni patut diketahui dengan seksama dalam rangka meningkatkan sikap ilmiah suatu bangsa dan mengingat sikap kita yang masih berorientasi kepada nilai estetis.[9] Dalam buku Nitisastra, yang diperkirakan Profesor Poerbacaraka ditulis pada akhir zaman Majapahit, disebutkan, bahwa salah satu musuh bagi orang muda dalam menuntut ilmu adalah "gila asmara".
Demikian yang dapat kami rangkum mengenai Struktur Pengetahuan Ilmiah (Bag. 3). Semoga ada manfaatnya serta dapat menambah wawasan kita. Jika Anda ingin menambahkan atau sekedar mengoreksi, silahkan tuangkan di kotak komentar. Kritik dan saran yang bersifat membangun, senentiasa kami terima dengan tangan terbuka.
1. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1990), hlm. 151.
2. Peter R. Senn, Social Science and its Methods (Boston: Holbrook Press, 1971), hlm. 35.
3. Ibid., hlm. 26.
4. Suriasumantri, op. cit., hlm. 155.
5. Suriasumantri, op. cit., hlm. 159.
6. C.A. Coulson, Science, Technology and the Christian (Nashville: Abingdon, 1960), hlm. 25-26.
7. Azyumardi Azra, "Teknologi: Fasisme dengan Senyuman", Merdeka, 10 February 1982.
8. Suriasumantri, op. cit., hlm. 161.
9. Moctar Lubis, Manusia Indonesia (Jakarta: Yayasan Idayu, 1978), hlm. 38.
3. Ibid., hlm. 26.
4. Suriasumantri, op. cit., hlm. 155.
5. Suriasumantri, op. cit., hlm. 159.
6. C.A. Coulson, Science, Technology and the Christian (Nashville: Abingdon, 1960), hlm. 25-26.
7. Azyumardi Azra, "Teknologi: Fasisme dengan Senyuman", Merdeka, 10 February 1982.
8. Suriasumantri, op. cit., hlm. 161.
9. Moctar Lubis, Manusia Indonesia (Jakarta: Yayasan Idayu, 1978), hlm. 38.
penelitian murni dan penelitian trapan mmang perlu di pelajari. thxs
ReplyDeleteTerima kasih....
Deletesuatu pertanyaan mendasar, sebuah teori muncul berawal dari sebuah peristiwa unik atau rumusan idealisme?
ReplyDelete