Komunitas Filsafat™ » Beranda Filsafat » » Tentang Asumsi (παραδοχές)

Tentang Asumsi (παραδοχές)

Gaosur Rohim Wednesday, October 26, 2011 4 Comments
Tentang Asumsi (παραδοχές)
Suatu hari pada zaman Wild West, seorang jago tembak yang cukup ternama dan populer, ditantang oleh seorang petani yang sedang mabuk. Petani ini adalah orang biasa-biasa saja, dan sama sekali bukan tipe Jango, yang bisa tembak sana tembak sini sambil tutup mata.

Setelah petani itu meminum wiski, dan melahap 18 jenis masakan pesta, tiba-tiba dia menantang seorang jago tembak yang ternama itu. Cuma karena sedang mabuk saja dia berlagak jadi jagoan, mungkin karena otaknya yang sedang out dari udara. Kalau sedang waras, mana berani dia menantang penembak professional yang sudah punya reputasi sedantero dunia, dunianya koboi tentu saja.

"Nah, apa yang akan terjadi ? Bukankah kejadian semacam ini jarang kita temui, seperti orang bisu yang sedang menyanyi ?", bisik bandar taruhan. Lalu mulailah bandar taruhan ini mengumpulkan data-data dan informasi mengenai kedua gladiator yang akan bertarung sampai mati itu.

Nama : Franco Nero; Nomor KTP : 0941940; RT. 010; RW. 003; Reputasi : 30 duel, 30 kali menang dengan TM (Tembak Mati, atau KO, dalam boxing). Duh ilah...!!!

Nah, sedangkan petani kita ini namanya sama sekali belum tercatat dalam daftar Guiness Record, kecuali dalam buku Bapak Camat, sebab masih menunggak Ipeda.

"Berapa pasaran taruhan kita ?", tanya bandar taruhan itu. "Bila semuanya beres, berdasarkan data-data yang sudah tercatat, maka setidaknya adalah 30 berbanding 1 (30:1) yang diramalkan bahwa petani malang itu akan mendapatkan One Way Ticket ke surga....", jawab konsultan kepada bandar taruhan itu.

"Lantas apanya yang mungkin tak beres....?", tanya bandar taruhan, yang kelihatannya benar-benar ingin aman menanam modalnya. "Ya, bermacam-macam. Misalnya, katakan sajalah bahwa pistol si Jango itu punya free will, kan berabe....?!", jawab konsultan yang sedang ngobyek ini, yang pekerjaan sebenarnya adalah seorang mahasiswa tekhnik di sebuah universitas negeri di Jakarta.

"Berabe gimana....?!", sambung bandar taruhan yang kian penasaran. Konsultan itu menarik nafas panjang sambil mengarahkan wajahnya ke langit : "Ya, mungkin saja pistol si Jango itu tidak mau menembak orang yang tak berdosa, apalagi seorang non-professional yang belum terakreditasi. Jadi, nembak ya nembak, namun nembaknya ngawur seperti tendangan Ardency FC....", (satu-satunya football club kebanggaan masyarakat Ceger, 009/003, Bekasi).

Bandar taruhan itu menggelengkan kepala sambil mengelak : "Ah, itu mah non-sens atuuh ! Itu bersifat akademik dan sangat spekulatif, mana ada pistol punya pilihan bebas. Kalau pistol ditembakkan dan tepat pada sasaran, maka secara deterministik sasaran itu akan kena....". (Sepertinya bandar taruhan ini mengerti akan etika berniaga/berbisnis). Barangkali pernah sekolah di IBN (Institute Bisnis Nusantara) Jakarta.

"Oke, tapi bagaimana kalau pistol si Jango itu macet ?!", pinta konsultan. "Macet bagaimana....?", tanya bandar taruhan. Dengan sabarnya konsultan itu menjawab : Ya, macet, klik ! Berdasarkan data-data yang sudah terkumpulkan, ternyata bahwa dari 100 peluru yang ditembakkan sebuah pistol, maka 1 di antaranya adalah macet. Artinya, secara probabilistik, meskipun peluangnya 1 dalam 100, mungkin saja pistiol si Jango itu macet, yang menyebabkan dia tersambar 'chance' (kebetulan) berupa nasib..., ngerti ?".

Nah, lalu merenunglah bandar taruhan itu, seperti merenungnya para filsuf, yang menduga-duga apakah gejala-gejala dalam alam ini tunduk kepada determinisme, yakni hukum alam yang bersifat universal. Ataukah hukum semacam iu tidak pernah ada, sebab setiap gejala-gejala merupakan akibat pilihan bebas. Atau mungkin keumuman itu memang ada, namun hanya berupa peluang yang sekedar tangkapan probabilistik saja.

Ketiga masalah ini, yakni determinisme, pilihan bebas, dan probabilistik, merupakan salah satu permasalahan filsafati yang cukup "rumit namun menarik". Tetapi tanpa kita mengenal ketiga aspek ini, serta bagaimana ilmu sampai pada pemecahan masalah yang merupakan kompromi, maka akan sulit bagi kita untuk mengenal hakikat keilmuan dengan baik dan sempurna.

"Nanti dulu....!!! Pembahasan mengenai determinisme, pilihan bebas, dan probabilistik, itu kan baru bisa dilakukan apabila bahwa hukum semacam itu memang ada. Sekiranya hukum yang mengatur kejadian alam itu tidak ada, maka masalah determinisme, pilihan bebas dan probabilistik/probabilitas itu sama sekali tidak akan muncul, kan....?, potong konsultan itu. "Benar juga ya....! Kalau hukum alam itu memang benar-benar tidak ada, maka tidak akan ada permasalahan dengan determinisme, pilihan bebas dan probabilistik....", simpul bandar taruhan.

Dengan demikian, maka tidak ada masalah tentang hubungan logam dengan panas, tekanan dengan volume, IQ dengan keberhasilan belajar. Alhasil, lalu ilmu sendiri itu pun tidak ada, sebab ilmu justru mempelajari hukum alam seperti ini.

Jadi, marilah kita asumsikan saja bahwa hukum yang hukum yang mengatur berbagai kejadian itu memang ada. Sebab tanpa asumsi seperti ini, maka pembicaraan kita semuanya lantas sia-sia. Hukum disini diartikan sebagai suatu "aturan main" atau "pola kejadian" yang diikuti sebagian besar peserta; gejalanya berulang kali dapat diamati, yang tiap kali memberikan hasil yang sama; yang dengan demikian maka kita dapat menyimpulkan bahwa hukum itu; seperti kata Coca Cola, misalnya, berlaku kapan saja dan di mana saja.

"Bagaimana, boleh-boleh saja, kan ?! Asalkan hukum disini jangan ditafsirkan dalam pengertian moral, sebab ilmu tidak mempelajari kejadian yang seharusnya, tetapi kejadian alam sebagaimana adanya...", sambung konsultan.

Sayang sekali perkataan "hukum" sudah terlanjur digunakan dalam Filsafat Ilmu. Penggunaan kata "hukum" ini memberikan konotasi bahwa hal ini bisa saja tidak ditaati. Padahal masalah "taat" atau "tidak taat" itu seharusnya tidak termasuk ke dalam diskusi masalah ini. Bahkan dalam rangka pengembangan bahasa, tidak sedikit ahli bahasa yang menyarankan kata "tata asas", sebagaimana padanan kata "konsisten", yang sebenarnya kurang bisa dibenarkan, mungkin dikarenakan hal ini bisa membawa konotasi yeng sama.

Paham Determinisme (αιτιοκρατία) dikembangkan oleh WILLIAM HAMILTON (1788-1856) dari doktrin THOMAS HOBBES (1588-1679), yang menyimpulkan bahwa "pengetahuan adalah bersifat empiris, yang dicerminkan oleh dzat (dzatiah) dan gerak yang bersifat universal". Paham determinisme ini merupakan lawan dari paham Fatalisme (μοιρολατρεία), yang berpendapat bahwa "segala kejadian itu ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan".

Demikian juga, paham fatalisme ini bertentangan dengan penganut Pilihan Bebas (Ελεύθερης Επιλογής), yang menyatakan bahwa "manusia memiliki kebebasan dalam memilih/menentukan pilihannya, dan tidak terikat kepada hukum alam yang tidak memberikan alternatif".

Untuk meletakkan ilmu dalam perspektif Filsafat ini, marilah kita bertanya kepada diri sendiri : Apakah sebenarnya yang ingin dipelajari ilmu ? Apakah ilmu itu ingin mempelajari hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh ummat manusia, seperti yang dicoba dijangkau dalam ilmu-ilmu sosial (social sciences) atau ilmu-ilmu alam (natural sciences) ? Atau barangkali cukup yang berlaku bagi sebagian besar dari mereka ? Atau bahkan mungkin juga kita tidak mempelajari tentang hal-hal yang berlaku umum, tetapi cukup mengenai tiap-tiap individu belaka ?

Konsekuensi dari semua pilihan ini adalah jelas. Mengapa demikian ? Ya, sebab jika kita memilih hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka kita harus bertolak dari paham determinisme. Jika kita memilih hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap-tiap individu manusia, maka kita harus berpaling kepada paham pilihan bebas. Sedangkan "posisi tengah" yang terletak di antara keduanya, mengantarkan kita kepada paham yang bersifat probabilistik. Yang mana pilihan Anda ? Deterministik, Pilihan Bebas, atau Probabilistik ?

Sebelum kita menentukan pilihan, mari kita merenung sejenak dan berfilsafat (Sudah agak jelas mengenai kaitan antara ilmu dan filsafat ? Jika belum, coba dulu yang ini ! Jika sudah, mari kita lanjutkan !). Sekiranya jika ilmu ingin menghasilkan suatu "hukum" yang kebenarannya bersifat mutlak, maka apakah tujuan ini cukup realistis untuk dicapai ilmu ?

Mungkin kalau sasaran (target) semacam ini yang dibidik oleh suatu ilmu, mungkin khazanah pengetahuan ilmiah itu hanya terdiri dari "beberapa gelintir" pernyataan yang bersifat universal saja. Seperti misalnya : Semua hewan berkaki 2. Bukankah tidak memenuhi persyaratan ini ? Sebab ada juga hewan yang berkaki 4, 3, 5, 6, 8, dan sebagainya.

Masih ingatkah teka-teki waktu kita masih jadi kanak-kanak : Makhluk apa ayo, kalau masih kecil berkaki 4, sudah besar berkaki 2, sudah tua berkaki 3....? Kalau tidak salah, jawabannya adalah : Waktu masih bayi merangkak, sudah besar berjalan tegak, sudah kakek-nenek memakai tongkat. Manusia apakah berkaki 5 ? Manusia ajaib !


Semoga ada manfaatnya....!







4 comments:

  1. Anonymous4:12 PM GMT+7

    Jika diingat-ingat, beradasarkan pilihan bebas ini. Maka sungguh batapa hidup merupakan petaka. karena kita tidak tahu bagaimana besok hari, apa kejadian. Sebuah pilihan bebas bisa langsung mengakhiri hidup kita #mungkin si petani #mungkin si Djanggo

    ReplyDelete
  2. Bravo filsafat. info bermanfaat.

    ReplyDelete

Komentar, kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa kami terima dengan tangan terbuka.
Komentar Anda akan dianggap SPAM jika:
- Menyematkan Link Aktif
- Mengandung dan/atau Menyerang SARA
- Mengandung Pornografi

Tidak ada CAPTCHA dan Moderasi Komentar di sini.

 
Copyright © 2008 - 2014 Komunitas Filsafat™.
TOS - Disclaimer - Privacy Policy - Sitemap XML - DMCA - All Rights Reserved.
Hak Paten Template pada Creating Website - Modifikasi oleh Gaosur Rohim.
Didukung oleh Blogger™.