Berawal dari serangkaian spekulasi semua pengetahuan yang ada, kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan, yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa mengetahui kriteria tentang apa yang disebut benar, tidak mungkin pengetahuan lain berkembang di atas kebenaran. Tanpa mengetahui kriteria tentang apa yang disebut baik atau buruk, tidak mungkin kita berbicara tentang moral. Tanpa mengetahui wawasan tentang apa yang disebut indah atau jelek, tidak mungkin kita berbicara tentang seni (kesenian).
Alkisah.... Suatu hari, bertanyalah seorang awam kepada filsuf yang arif bijaksana, "Coba sebutkan kepada Saya, ada berapa macam jenis manusia yang terdapat dalam kehidupan ini berdasarkan pengetahuannya...?!".
Filsuf itu menarik nafas panjang, dan lalu berpantun :
Ada orang yang tahu di tahunya;
Ada orang yang tahu di tidaktahunya;
Ada orang yang tidak tahu di tahunya;
Ada orang yang tidak tahu di tidaktahunya....
Penuh hasrat dalam ketidaktahuannya, orang awam itu langsung menyambung : "Bagaimana caranya agar Saya bisa mendapatkan pengetahuan yang benar ?". Filsuf itu kembali menjawab : "Mudah saja ! Ketahuilah apa yang kau tahu, dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu...!".
Pengetahuan dimulai dengan rasa "ingin tahu", kepastian dimulai dengan rasa "ragu-ragu", dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang "telah kita ketahui", dan apa yang "belum kita ketahui".
Berfilsafat berarti berendah hati, bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini. Demikian juga, berfilsafat berarti mengoreksi diri; semacam "keberanian" untuk berterus terang gitu lah, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau.
Apakah Ilmu?
Secara sederhana, ilmu merupakan pengetahuan yang kita gumuli sejak bangku TK, sekolah dasar, pendidikan lanjutan, atau bahkan perguruan tinggi. Nah, berfilsafat tentang ilmu, berarti kita berterus terang kepada diri kita sendiri : Apakah sebenarnya yang "telah" kita ketahui dan yang "belum" kita ketahui tentang ilmu ? Apa saja ciri-ciri yang hakiki yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya yang bukan ilmu ? Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa ilmu yang sedang kita cari merupakan pengetahuan yang benar ? Kriteria apa saja yang harus kita pakai dalam menentukan kebenaran secara ilmiah ? Mengapa kita harus mempelajari ilmu ?
Demikian juga berfilsafat, yang berarti kita berendah hati untuk "mengevaluasi" segenap pengetahuan yang telah kita ketahui : Apakah ilmu telah mencakup segenap pengetahuan yang seyogyanya kita ketahui dalam kehidupan ini ? Di batas manakah ilmu mulai, dan di batas manakah dia berhenti ? (lihat pembahasan selanjutnya dalam Batas Lingkup Penjelajahan Ilmu). Kemana kita harus berpaling di batas ketidaktahuan ini ? Apa saja kelebihan dan kekurangan ilmu ?
(Kasih.., mengetahui kekuranganmu, bukan berarti Aku merendahkanmu. Namun secara sadar, Aku telah memanfaatkan untuk terlebih jujur dan tulus dalam mencintaimu.... Hehe).
Apakah Filsafat?
Meminjam pemikiran Jujun Suparjan Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu bahwa seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan sebagai : seorang yang berpijak di bumi yang sedang menengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi yang seakan tak terbatas ini; Atau seorang yang berdiri di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah-lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang sedang ditatapnya.
Nah, karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak lagi puas mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin tahu apa kaitan ilmu dengan moral, dia ingin tahu apa kaitan ilmu dengan seni, dia ingin tahu apa kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu akan membawa kebahagiaan dan keselamatan bagi dirinya atau malah sebaliknya.
Mungkin tidak sedikit di antara kita yang sering melihat seorang ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir yang memandang rendah kepada ahli ilmu sosial. Lulusan Bahasa yang merasa lebih tinggi daripada lulusan IPA. Lulusan IPA yang merasa lebih tinggi daripada lulusan IPS. Atau yang lebih menyedihkan lagi, seorang ilmuwan yang memandang rendah kepada pengetahuan lain. Mereka meremehkan moral; mereka meremehkan ilmu, seni, agama, dan nilai-nilai estetika.
Mereka, para ahli yang berada di bawah "tempurung" disiplin keilmuannya masing-masing, sebaiknya menengadah ke bintang-bintang dan tercengang : "Lho, kok masih ada langit lain di luar tempurung kita. Ternyata masih ada langit di atas langit....". Dan dia pun lalu menyadari akan kebodohan kita sendiri. Yang Saya tahu, simpul SOCRATES (470-399 S.M.), ialah bahwa : "Saya tak tahu apa-apa !". Kerendahhatian Socrates ini, bukanlah merupakan verbalisme yang cuma sekedar basa-basi.
Seorang yang berpikir filsafati, selain menengadah ke bintang-bintang, juga membongkar tempat berpijak secara fundamental. Inilah karakteristik berpikir filsafati yang kedua, yakni sifat mendasar. Dia tidak mudah percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar : Mengapa ilmu itu bisa disebut benar ? Bagaimana proses penilaiannya berdasarkan kriteria tersebut dilakukan ? Apakah kriteria itu sendiri benar ? Lalu benar sendiri itu apa ?
Seperti halnya sebuah lingkaran, maka pertanyaan itu melingkar. Dan untuk menyusur sebuah lingkaran, maka kita harus memulai dari satu titik, yang awal dan juga sekaligus akhir. Lalu bagaimana cara menentukan titik awal yang benar itu ?
William Shakespeare, "Ah, Horatio, masih banyak lagi di langit dan di bumi selain yang terjaring dalam filsafatmu....!". desis Hamlet. Memang demikian.., jika kita mau berterus terang, tidak mungkin kita bisa menangguk semua pengetahuan secara keseluruhan. Dan bahkan kita tidak yakin kepada titik awal yang menjadi "jangkar pemikiran" yang mendasar. Dalam hal ini kita hanya berspekulasi. Dan inilah yang merupakan karakteristik berpikir filsafati yang ketiga, yakni sifat spekulatif.
Mungkin kita mulai mengerenyitkan kening dan timbul kecurigaan terhadap filsafat : "Bukankah spekulasi semacam ini suatu dasar yang tidak bisa diandalkan....?". Dan seorang filsuf akan menjawab : "Memang...! Namun hal ini tidak bisa kita hindarkan. Untuk menyusur sebuah lingkaran, kita harus mulai dari sebuah titik, bagaimanapun juga spekulatifnya. Yang terpenting adalah bahwa dalam prosesnya, baik dalam analisis maupun dalam pembuktiannya, setidaknya kita bisa memisahkan spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak....". Sedangkan salah satu tugas utama filsafat adalah "menetapkan" dasar-dasar filsafat yang dapat diandalkan....".
Mengenai apa yang bisa disebut logis ? Apa yang bisa disebut benar ? Apa yang bisa disebut shahih ? Apakah alam ini teratur atau memang kacau ? Apakah hidup ini ada tujuannya atau memang absurd ? Adakah hukum yang mengatur alam dan segenap sarwa kehidupan ini ? Itu semua sudah terjawab berdasarkan spekulasi tersebut.
Sekarang kita sadar, bahwa semua pengetahuan yang sekarang ada, dimulai dengan spekulasi. Dari serangkaian spekulasi ini, kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan, yang juga merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan.
Tanpa menetapkan kriteria tentang apa yang disebut benar dan salah, maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembang di atas kebenaran. Tanpa menetapkan kriteria tentang apa yang disebut baik atau buruk, mana mungkin kita bicara soal moral. Demikian juga tanpa adanya wawasan tentang apa yang disebut indah atau jelek, mana mungkin kita berbicara tentang seni (kesenian).
Berfilsafat berarti berendah hati, bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini. Demikian juga, berfilsafat berarti mengoreksi diri; semacam "keberanian" untuk berterus terang gitu lah, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau.
Apakah Ilmu?
Secara sederhana, ilmu merupakan pengetahuan yang kita gumuli sejak bangku TK, sekolah dasar, pendidikan lanjutan, atau bahkan perguruan tinggi. Nah, berfilsafat tentang ilmu, berarti kita berterus terang kepada diri kita sendiri : Apakah sebenarnya yang "telah" kita ketahui dan yang "belum" kita ketahui tentang ilmu ? Apa saja ciri-ciri yang hakiki yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya yang bukan ilmu ? Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa ilmu yang sedang kita cari merupakan pengetahuan yang benar ? Kriteria apa saja yang harus kita pakai dalam menentukan kebenaran secara ilmiah ? Mengapa kita harus mempelajari ilmu ?
Demikian juga berfilsafat, yang berarti kita berendah hati untuk "mengevaluasi" segenap pengetahuan yang telah kita ketahui : Apakah ilmu telah mencakup segenap pengetahuan yang seyogyanya kita ketahui dalam kehidupan ini ? Di batas manakah ilmu mulai, dan di batas manakah dia berhenti ? (lihat pembahasan selanjutnya dalam Batas Lingkup Penjelajahan Ilmu). Kemana kita harus berpaling di batas ketidaktahuan ini ? Apa saja kelebihan dan kekurangan ilmu ?
(Kasih.., mengetahui kekuranganmu, bukan berarti Aku merendahkanmu. Namun secara sadar, Aku telah memanfaatkan untuk terlebih jujur dan tulus dalam mencintaimu.... Hehe).
Apakah Filsafat?
Meminjam pemikiran Jujun Suparjan Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu bahwa seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan sebagai : seorang yang berpijak di bumi yang sedang menengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi yang seakan tak terbatas ini; Atau seorang yang berdiri di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah-lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang sedang ditatapnya.
Nah, karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak lagi puas mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin tahu apa kaitan ilmu dengan moral, dia ingin tahu apa kaitan ilmu dengan seni, dia ingin tahu apa kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu akan membawa kebahagiaan dan keselamatan bagi dirinya atau malah sebaliknya.
Mungkin tidak sedikit di antara kita yang sering melihat seorang ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir yang memandang rendah kepada ahli ilmu sosial. Lulusan Bahasa yang merasa lebih tinggi daripada lulusan IPA. Lulusan IPA yang merasa lebih tinggi daripada lulusan IPS. Atau yang lebih menyedihkan lagi, seorang ilmuwan yang memandang rendah kepada pengetahuan lain. Mereka meremehkan moral; mereka meremehkan ilmu, seni, agama, dan nilai-nilai estetika.
Mereka, para ahli yang berada di bawah "tempurung" disiplin keilmuannya masing-masing, sebaiknya menengadah ke bintang-bintang dan tercengang : "Lho, kok masih ada langit lain di luar tempurung kita. Ternyata masih ada langit di atas langit....". Dan dia pun lalu menyadari akan kebodohan kita sendiri. Yang Saya tahu, simpul SOCRATES (470-399 S.M.), ialah bahwa : "Saya tak tahu apa-apa !". Kerendahhatian Socrates ini, bukanlah merupakan verbalisme yang cuma sekedar basa-basi.
Seorang yang berpikir filsafati, selain menengadah ke bintang-bintang, juga membongkar tempat berpijak secara fundamental. Inilah karakteristik berpikir filsafati yang kedua, yakni sifat mendasar. Dia tidak mudah percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar : Mengapa ilmu itu bisa disebut benar ? Bagaimana proses penilaiannya berdasarkan kriteria tersebut dilakukan ? Apakah kriteria itu sendiri benar ? Lalu benar sendiri itu apa ?
Seperti halnya sebuah lingkaran, maka pertanyaan itu melingkar. Dan untuk menyusur sebuah lingkaran, maka kita harus memulai dari satu titik, yang awal dan juga sekaligus akhir. Lalu bagaimana cara menentukan titik awal yang benar itu ?
William Shakespeare, "Ah, Horatio, masih banyak lagi di langit dan di bumi selain yang terjaring dalam filsafatmu....!". desis Hamlet. Memang demikian.., jika kita mau berterus terang, tidak mungkin kita bisa menangguk semua pengetahuan secara keseluruhan. Dan bahkan kita tidak yakin kepada titik awal yang menjadi "jangkar pemikiran" yang mendasar. Dalam hal ini kita hanya berspekulasi. Dan inilah yang merupakan karakteristik berpikir filsafati yang ketiga, yakni sifat spekulatif.
Mungkin kita mulai mengerenyitkan kening dan timbul kecurigaan terhadap filsafat : "Bukankah spekulasi semacam ini suatu dasar yang tidak bisa diandalkan....?". Dan seorang filsuf akan menjawab : "Memang...! Namun hal ini tidak bisa kita hindarkan. Untuk menyusur sebuah lingkaran, kita harus mulai dari sebuah titik, bagaimanapun juga spekulatifnya. Yang terpenting adalah bahwa dalam prosesnya, baik dalam analisis maupun dalam pembuktiannya, setidaknya kita bisa memisahkan spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak....". Sedangkan salah satu tugas utama filsafat adalah "menetapkan" dasar-dasar filsafat yang dapat diandalkan....".
Mengenai apa yang bisa disebut logis ? Apa yang bisa disebut benar ? Apa yang bisa disebut shahih ? Apakah alam ini teratur atau memang kacau ? Apakah hidup ini ada tujuannya atau memang absurd ? Adakah hukum yang mengatur alam dan segenap sarwa kehidupan ini ? Itu semua sudah terjawab berdasarkan spekulasi tersebut.
Sekarang kita sadar, bahwa semua pengetahuan yang sekarang ada, dimulai dengan spekulasi. Dari serangkaian spekulasi ini, kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan, yang juga merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan.
Tanpa menetapkan kriteria tentang apa yang disebut benar dan salah, maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembang di atas kebenaran. Tanpa menetapkan kriteria tentang apa yang disebut baik atau buruk, mana mungkin kita bicara soal moral. Demikian juga tanpa adanya wawasan tentang apa yang disebut indah atau jelek, mana mungkin kita berbicara tentang seni (kesenian).
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteLink aktif langsung dihapus.
DeleteApa benar? Sebutkan jenis-jenis benar?
ReplyDeleteBingung Saya...
Delete