Komunitas Filsafat™ » Beranda Filsafat » » Tentang Pengetahuan (2)

Tentang Pengetahuan (2)

Gaosur Rohim Tuesday, March 12, 2013 4 Comments
Tentang Pengetahuan 2
Pengetahuan merupakan khazanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu tak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Apa yang harus kita lakukan sekiranya anak kita sedang demam panas atau kejang? Lagu nina bobo apa yang harus kita nyanyikan agar dia tertidur lelap? Sekiranya insan yang sangat kita cintai itu kemudian meninggalkan kita, maka ke mana kita harus berpaling dalam kemelut kesedihan?


Seandainya seseorang berkata kepada kita bahwa dia tahu bagaimana cara bermain gitar, maka seorang lainnya mungkin bertanya, apakah pengetahuan Anda itu merupakan ilmu? Tentu saja dengan mudah dia akan menjawab bahwa pengetahuan bermain gitar itu bukanlah ilmu, melainkan seni. Demikian juga, sekiranya seseorang mengemukakan bahwa sesudah mati semua manusia akan dibangkitkan kembali, akan timbul pertanyaan serupa apakah pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat transendental yang menjorok ke luar batas pengalaman manusia dapat disebut ilmu? Tentu saja jawabannya adalah "bukan", sebab pengetahuan yang berhubungan dengan masalah semacam itu adalah agama.

Seni, pada sisi lain dari pengetahuan, mencoba mendeskripsikan sebuah gejala dengan sepenuh-penuh maknanya. Kalau ilmu mencoba mengembangkan sebuah model yang sederhana mengenai dunia empiris dengan mengabstraksikan realitas menjadi beberapa variabel yang terikat dalam sebuah hubungan yang bersifat rasional, maka seni (paling tidak seni sastra), mencoba mengungkapkan obyek penelaahan itu sehingga menjadi bermakna bagi pencipta dan mereka yang meresapinya, lewat berbagai kemampuan manusia untuk menangkapnya, seperti pikiran, emosi, dan pancaindera.

Seni, menurut Mochtar Lubis dalam bukunya, Manusia Indonesia, merupakan produk dari daya inspirasi dan daya cipta manusia yang bebas dari cengkeraman dan belenggu berbagai ikatan. (Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, Jakarta: Yayasan Idayu, 1978), hlm.7-8. Model pengungkapan realitas dalam seni, sekiranya karya seni dapat diibaratkan sebuah model, adalah bersifat penuh dan rumit namun tidak bersifat sistematik. Karena itu kita tak bisa menggunakan model tersebut untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam. Tetapi memang bukan itulah tujuan sebuah kegiatan seni.

Karya seni ditujukan untuk manusia, dengan harapan bahwa pencipta dan obyek yang diungkapkannya mampu berkomunikasi dengan manusia, yang memungkinkan dia menangkap pesan yang dibawa karya seni itu. Sebuah ciptaan yang maknanya tidak bersifat komunikatif, melainkan sekedar berarti bagi penciptanya sendiri, bukanlah merupakan karya seni, melainkan suatu bentuk neurosis.1) (Carl. G. Jung yang dikutip dalam George F. Kneller, Introduction to The Philosophy of Education, New York: Harcourt, Brace & World, 1976), hlm. 16. Sebuah karya seni yang baik biasanya adalah mempunyai pesan yang ingin disampaikan kepada manusia yang bisa mempengaruhi sikap dan perilaku mereka. Itulah sebabnya maka seni memegang peranan penting dalam pendidikan moral dan budi pekerti suatu bangsa.

Ilmu mencoba mencarikan penjelasan mengenai alam menjadi kesimpulan yang bersifat umum dan impersonal. Sebaliknya, seni tetap bersifat individual dan personal, dengan memusatkan perhatiannya pada "pengalaman hidup manusia pada perseorangan"2). (Rene Dubos, So Human an Animal, New York: Charles Schribner's Sons, 1968), hlm. 119. Pengalaman itu diungkapkan agar dapat dialami orang lain dengan jalan "menjiwai" pengalaman tersebut. Itulah sebabnya maka DANTE (-) berkata bahwa seorang pelukis yang ingin mengungkapkan sebuah bentuk tetapi tidak dapat menjiwainya takkan dapat menggambarkannya.3) Penjiwaan atas pengalaman orang lain itulah yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku kita, seperti disimpulkan oleh W. SOMERSET MAUGHAM (-) bahwa manusia memuliakan dirinya justru lewat pengalaman (penderitaan) orang lain.4)

Usaha untuk menjelaskan gejala alam ini sudah mulai dilakukan oleh manusia sejak dulu kala. Diperkirakan bahwa nenek moyang kita pun tak kurang takjubnya memperhatikan berbagai kekuatan alam yang terdapat di sekeliling mereka seperti hujan, banjir, topan, gempa bumi, dan letusan gunung berapi. Mereka merasa tak berdaya menghadapi kekuatan alam yang sangat dahsyat itu, yang dianggapnya merupakan kekuatan yang luar biasa itu, dicobanya untuk dijelaskannya dengan mengaitkannya dengan makhluk yang luar biasa pula, dan berkembanglah berbagai mitos tentang para dewa dengan berbagai kesaktian dan perangainya.

Gejala alam merupakan pencerminan dari kepribadian dan kelakuan mereka, dan karena pada waktu itu gejala alam memang sulit untuk diramalkan, berkembanglah tokoh-tokoh supranatural yang juga bersifat begitu. Konon katanya, maka muncullah dewa-dewa yang pemarah, pendendam, atau mudah jatuh cinta, di samping berkeampuhan yang luar biasa. Pada taraf ini manusia telah mencoba untuk menafsirkan alam fisik ini, dan bahkan telah mencoba pula untuk mengontrolnya.

Sesuai dengan kemampuan mereka tentang gejala-gejala alam, maka mengontrol timbulnya gejala yang berupa "malapetaka" adalah identik dengan mengarahkan kelakuan para dewa yang bersangkutan. Maka bertumpuklah bermacam-macam penganan dan sajian (sesajen) di batas kampung atau simpang jalan; sebab dewa-dewa ini, meminjam perkataan ISAAC ASIMOV (-), bukan saja urakan, aneh, emosional, dan mudah mengamuk karena hal-hal kecil, melainkan juga mudah terpengaruh oleh "sogokan yang kekanak-kanakan".5) Sogokan ini tentu saja sebanding dengan lingkup kontrol yang diminta : dari segenggam garam, penyerahan kehormatan dalam orgi yang ritual sampai penyerahan korban jiwa yang dibantai di muka altar.

Kalau dipikir-pikir, kita mesti "mengangkat topi" kepada nenek moyang kita, yang mencoba untuk "menggali rahasia alam", dan menempatkan kehidupan mereka di dalamnya. Mereka mencoba mengembangkan suatu sistem pengetahuan untuk menafsirkan gejala-gejala fisik dan mekanisme yang mengaturnya. Mengaitkan gejala alam yang sulit diramalkan dengan kepribadian manusia, yang juga sukar diramalkan merupakan suatu prestasi tersendiri.

Tahap selanjutnya ditandai oleh usaha manusia untuk mencoba menafsirkan dunia ini terlepas dari belenggu mitos, mereka menatap dunia ini tidak lagi dari balik harum dupa atau asap kemenyan. Mereka, seperti nyanyian EBIET G. ADE, tidak lagi berpaling kepada macam-macam spekulasi, namun bertanya langsung "kepada angin, kepada awan, dan rumput yang bergoyang". Dengan mempelajari alam, mereka mengembangkan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis, seperti untuk pembuat tanggul, pembasmian hama, dan bercocok tanam. Lalu berkembanglah pengetahuan yang berakar pada kenyataan/pengalaman (empiris) berdasarkan akal sehat (common sense) yang didukung oleh metode mencoba-coba (trial-and-error). Perkembangan ini menyebabkan tumbuhnya pengetahuan yang disebut seni terapan (applied arts) yang mempunyai kegunaan langsung dalam kehidupan jasmani sehari-hari di samping seni halus (fine arts) yang bertujuan untuk memperkaya spiritual.

Peradaban Mesir Kuno pada kurang lebih 3000 tahun Sebelum Masehi, telah mengembangkan irigasi, dan mampu meramalkan timbulnya gerhana (baik gerhana bulan, maupun gerhana matahari). Demikian juga peradaban-peradaban lainnya, seperti China dan India, terkenal dengan perkembangan seni terapan (applied arts) yang tinggi. Sedangkan di Indonesia sendiri, pada puncak kejayaan peradaban Majapahit dan Sriwijaya, kapal-kapal mereka telah berlayar mengarungi berbagai samudera.

Kemajuan ini menurut logikanya harus didukung oleh seni terapan (applied arts) dalam pembuatan dan navigasi kapal yang tinggi pula. Candi-candi yang terserak di seluruh penjuru tanah aia, merupakan bukti lainnya mengenai ketinggian mutu arsitektur nenek moyang kita.


Semoga Bermanfaat...!!!









1. Carl G. Jung yang dikutip dalam George F. Kneller, Introduction to The Philosophy of Education (New York : Harcourt, Brace & World, 1967), hlm. 16.
2. Rene Dubos, So Human an Animal (New York : Charles Schribner's Sons, 1968), hlm. 119.
3. Dikutip dari Ananda K. Coomaraswamy, The Transformatoin of Nature in Arts (New York : Dover, 1956), hlm. 7.
4. W. Somerset Maugham, The Summing Up, New York : Mentor, 1957), hlm. 43.
5. Isaac Asimov, The Intelligent Man's Guide to The Physical Sciences (New York : Washington Square Press, 1969), hlm. 75.







4 comments:

Komentar, kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa kami terima dengan tangan terbuka.
Komentar Anda akan dianggap SPAM jika:
- Menyematkan Link Aktif
- Mengandung dan/atau Menyerang SARA
- Mengandung Pornografi

Tidak ada CAPTCHA dan Moderasi Komentar di sini.

 
Copyright © 2008 - 2014 Komunitas Filsafat™.
TOS - Disclaimer - Privacy Policy - Sitemap XML - DMCA - All Rights Reserved.
Hak Paten Template pada Creating Website - Modifikasi oleh Gaosur Rohim.
Didukung oleh Blogger™.