Metode ilmiah pada dasarnya adalah sama bagi semua disiplin keilmuan, baik yang termasuk dalam ilmu-ilmu alam (natural sciences) maupun ilmu-ilmu sosial (social sciences). Bila pun terdapat perbedaan dalam kedua kelompok keilmuan ini, maka perbedaan tersebut hanya sekedar terletak pada "aspek-aspek tekniknya", tetapi bukan pada "struktur berpikir" atau "aspek metodologisnya". Teknik pengumpulan data mengenai gejala gunung berapi, jelas akan berbeda dengan teknik pengumpulan data tentang sikap kaum remaja mengenai keluarga berencana. Demikian juga mengenai teknik pengamatan bintang-bintang di langit, jelas akan berbeda dengan teknik pengamatan anak di taman kanak-kanak yang sedang belajar mengeja.
Penyusunan hipotesis dilakukan dalam kerangka permasalahan yang bereksistensi secara empiris dengan pengamatan kita, yang "mau tidak mau" ikut mempengaruhi proses berpikir deduktif. Kegiatan seperti ini akan lebih mendekatkan lagi hipotesis yang kita susun dengan dunia fisik yang secara teoritis memperbesar peluang bagi hipotesis tersebut untuk diterima.
Langkah selanjutnya sesudah penyusunan hipotesis adalah menguji hipotesis tersebut, yakni dengan mengkonfrontsikannya dengan dunia fisik yang nyata. Sering sekali dalam hal ini kita harus melakukan langkah perantara (wasilah), yakni menentukan faktor-faktor apa saja yang dapat kita uji dalam rangka melakukan verifikasi terhadap keseluruhan hipotesis tersebut. Jika kita mempunyai hipotesis bahwa bulan berputar mengelilingi bumi, maka masalah yang kita hadapi adalah bagaimana caranya kita mampu menguji pernyataan tersebut. Atau lebih jauh lagi, fakta-fakta apa saja yang dapat kita amati yang diturunkan dari hipotesis tersebut, yang memungkinkan kita untuk menarik kesimpulan apakah pernyataan tersebut didukung oleh fakta atau tidak.
Misalnya dalam menguji hipotesis tentang hubungan antara bumi dan bulan tadi, maka kita dapat menyimpulkan penyataan bahwa hipotesis tersebut akan menyebabkan timbulnya kegiatan "pasang surut air laut" secara periodik, disebabkan adanya daya tarik bulan yang berpindah-pindah sambil mengelilingi bumi. Gejala pasang surut air laut ini, jelas akan dapat kita amati dengan pancaindera kita, dan dengan demikian kita akan dapat melakukan verifikasi apakah pernyataan itu mengandung kebenaran atau tidak. Demikian juga, hal yang serupa berlaku untuk prestasi belajar yang dapat dilihat dan diuji lewat hasil tes, angka raport sekolah atau angka penilaian lainnya.
Proses pengujian ini, seperti telah kita singgung sebelumnya, merupakan pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan. Fakta-fakta ini kadang-kadang bersifat sederhana, yang dapat kita tangkap secara langsung dengan pancaindera kita. Kadang-kadang kita memerlukan instrumen yang dapat "membantu pancaindera" kita, misalnya teleskop dan mikroskop. Dalam penyelidikan fisika nuklir, misalnya, maka untuk pembuktian ini kadang-kadang memerlukan alat yang rumit sekali, sehingga sering terjadi bahwa suatu hipotesis itu baru dapat dibuktikan beberapa lama kemudian, setelah ditemukan alat yang dapat membantu mengumpulkan fakta yang bersangkutan. Hal ini pula lah yang menyebabkan penelitian ilmiah menjadi "sangat mahal", yang disebabkan bukan oleh penyusunan teorinya, tetapi dalam pembuktiannya. Pembuktian inilah yang sebenarnya memberi "vonis" terhadap teori ilmiah; apakah pernyataan-pernyataan yang dikandungnya dapat diterima kebenarannya atau tidak secar ilmiah.
Seorang ilmuwan, pada awalnya selalu bersifat skeptis: dia selalu meragukan segala sesuatu. Jika kita mengemukakan kepadanya tentang suatu teori tertentu, maka keraguan itu akan tercermin dalam sebuah pernyataan: "Jelaskan kepada Saya lalu berikan buktinya!". Jadi, pertama-tama dia memerlukan penjelasan yang "masuk akal" dan tidak bersifat kontradiktif dengan pengetahuan ilmiah yang telah diketahuinya. Setelah itu, dia minta pembuktian, sebab konsistensi secara logis saja baginya tidak cukup, dia menghendaki verifikasi secara empiris. Baru setelah penjelasan itu yang ternyata didukung oleh fakta-fakta dalam dunia fisik yang nyata, maka dia akan percaya.
Jadi secara sederhana, proses berpikir seorang ilmuwan dapat disimpulkan sebagai sesuatu yang dimulai dengan ragu-ragu dan diakhiri dengan percaya atau tidak percaya. Hal ini berbeda dengan penelaahan pada bidang lain, misalnya agama, dimana pengkajian agama tidak dimulai dengan ragu-ragu, tetapi dimulai dengan percaya dan diakhiri dengan makin percaya atau mungkin jadi ragu. Mengapa agama harus dimulai dengan rasa percaya, sedangkan ilmu dengan ragu-ragu? Kunci jawabannya adalah terletak pada daerah penjelajahan agama yang menjangkau ke luar dari daerah pengalaman manusia.1) Dalam keadaan seperti ini, maka pengetahuan agama yang diwahyukan oleh Tuhan, harus diterima dulu sebagai "hipotesis" yang kebenarannya kemudian diuji oleh kita.
Proses pengujian ini adalah tidak sama dengan pengujian ilmiah yang berdasarkan kepada tangkapan pancaindera, sebab pengujian kebenaran agama harus dilakukan oleh seluruh aspek kemanusiaan kita; seperti penalaran, perasaan, intuisi dan imajinasi disamping pengalaman (empiri). Demikian juga, tidak semua pernyataan keagamaan dapat diverifikasi, seperti adanya malaikat dan hari kiamat, sebab hal ini berada di luar jangkauan pengalaman manusia. (Lihat Ruang Lingkup Penjelajahan Ilmu). Dengan demikian, maka kepercayaan keagamaan sangat bersifat personal dan subyektif. Berbeda dengan ilmu, yang bersifat impersonal dan obyektif. Kedua pengetahuan ini bersifat "saling melengkapi" dan memperkaya kehidupan kita, sesuai dengan hakikat dan kegunaannya masing-masing.
Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah, dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi ini, pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut :
- Pertama, perumusan masalah, yang merupakan pertanyaan mengenai obyek empiris yang jelas batas-batasnya, serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
- Kedua, penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling berkaitan dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
- Ketiga, perumusan hipotesis, yang merupakan jawaban sementara atau dugaan sementara terhadap pertanyaan yang diajukan, yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
- Keempat, pengujian hipotesis, yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
- Kelima, penarikan kesimpulan, yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Bila dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang mendukung hipotesis, maka hipotesis itu dapat diterima. Sebaliknya, bila dalam proses pengujian tidak ada fakta-fakta yang cukup mendukung hipotesis, maka hipotesis itu tidak dapat diterima (ditolak). Hipotesis yang diterima, kemudian dianggap menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah, sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan, yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya, serta telah teruji kebenarannya.2) Pengertian kebenaran di sini, harus kita tafsirkan secara pragmatis, artinya bahwa sampai saat ini belum pernah ada fakta-fakta yang menyatakan sebaliknya.
Keseluruhan langkah ini harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah. Meskipun langkah-langkah ini secara konseptual tersusun dalam urutan yang teratur, dimana langkah yang satu merupakan "landasan" bagi langkah berikutnya, namun dalam prakteknya sering terjadi lompatan-lompatan. Hubungan antara langkah yang satu dengan langkah yang lainnya tidak terikat secara statis, tetapi bersifat dinamis dengan proses pengkajian ilmiah yang tidak semata-mata mengandalkan penalaran, tetapi juga imajinasi dan kreatifitas.3) Sering terjadi bahwa langkah yang satu bukan saja merupakan landasan bagi langkah yang berikutnya, namun sekaligus juga merupakan "landasan koreksi" bagi langkah yang lain. Dengan jalan ini, diharapkan diprosesnya pengetahuan yang bersifat konsisten dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya serta teruji kebenarannya secara empiris.
Langkah-langkah yang sudah kita sebutkan tadi, harus dianggap sebagai "patokan utama", dimana dalam penelitian yang sesungguhnya mungkin saja berkembang berbagai variasi, sesuai dengan bidang dan permasalahan yang diteliti. Walaupun demikian, maka bagi kita yang sedang mendidik diri untuk menjadi peneliti yang baik, maka "tema pokok" dalam metode ilmiah harus kita kuasai. Sebab tanpa kemampuan dasar ini, dikhawatirkan bahwa variasi yang dikembangkan itu mungkin saja tidak mencerminkan ciri yang seharusnya dipenuhi dalam suatu kegiatan keilmuan.
Meskipun seorang ilmuwan seperti PERCY W. BRIDGMAN (-) mengatakan bahwa "ilmu adalah apa yang seseorang lakukan dengan pikirannya tanpa pembatasan apapun"4), namun hal ini jangan ditafsirkan sebagai suatu ketinggihatian, sebab perkataan tersebut diucapkan oleh seorang ilmuwan pemenang Hadiah Nobel untuk Fisika. Tentu saja dia tidak menemukan rumus-rumus yang cukup layak untuk dianugerahi Hadiah Nobel sekedar hanya dengan lima langkah metode ilmiah yang dia pelajari di sekolah.
Bagi seorang pemula seperti kita (newbie), yang memang sedang mempelajari pengetahuan, apa pun juga itu namanya, sebaiknya kita mulai dari dasar-dasar yang bersifat "patokan pokok". Sulit untuk kita bayangkan bagaimana seorang guitaris seperti Andres Segovia, Axl Rose dan lain-lain menyajikan konser dengan penuh kejeniusannya tanpa mengetahui dasar do-re-mi.
J. A. EASLEY (-) menyimpulkan bahwa meskipun prinsip-prinsip metode ilmiah yang diterima oleh sebagian besar ilmuwan tidak selalu membantu pengembangan hipotesis dan merupakan kriteria untuk "menolak" atau "menerima" suatu pernyataan ilmiah, namun metode ilmiah ini adalah penting bagi masyarakat ilmuwan dalam melancarkan "kritik" terhadap suatu penyelidikan dan dalam kegiatan "mendidik" calon ilmuwan.
Walaupun demikian, kita tidak boleh menafsirkan dan mengajarkan metode ilmiah ini secara mati dan ritualistik, seperti juga cara kita dalam mempergunakan berbagai pedoman penulisan untuk skripsi, tesis atau pun disertasi yang berasal dari berbagai universitas, institut, akademi, politeknik, atau sekolah-sekolah tinggi lainnya, tetapi lebih ditekankan kepada logika berpikir dan alur-alur jalan pikirannya. Dengan demikian, maka kita akan mampu menghindarkan berkembangnya cara berpikir yang kaku dan simplistis.
Semoga bermanfaat !
1. Jujun Suparjan Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1990), hlm. 127.
2. Ibid.
3. Ibid., hlm. 128.
4. Ibid., hlm. 130.
Langkah-langkah yang sudah kita sebutkan tadi, harus dianggap sebagai "patokan utama", dimana dalam penelitian yang sesungguhnya mungkin saja berkembang berbagai variasi, sesuai dengan bidang dan permasalahan yang diteliti. Walaupun demikian, maka bagi kita yang sedang mendidik diri untuk menjadi peneliti yang baik, maka "tema pokok" dalam metode ilmiah harus kita kuasai. Sebab tanpa kemampuan dasar ini, dikhawatirkan bahwa variasi yang dikembangkan itu mungkin saja tidak mencerminkan ciri yang seharusnya dipenuhi dalam suatu kegiatan keilmuan.
Meskipun seorang ilmuwan seperti PERCY W. BRIDGMAN (-) mengatakan bahwa "ilmu adalah apa yang seseorang lakukan dengan pikirannya tanpa pembatasan apapun"4), namun hal ini jangan ditafsirkan sebagai suatu ketinggihatian, sebab perkataan tersebut diucapkan oleh seorang ilmuwan pemenang Hadiah Nobel untuk Fisika. Tentu saja dia tidak menemukan rumus-rumus yang cukup layak untuk dianugerahi Hadiah Nobel sekedar hanya dengan lima langkah metode ilmiah yang dia pelajari di sekolah.
Bagi seorang pemula seperti kita (newbie), yang memang sedang mempelajari pengetahuan, apa pun juga itu namanya, sebaiknya kita mulai dari dasar-dasar yang bersifat "patokan pokok". Sulit untuk kita bayangkan bagaimana seorang guitaris seperti Andres Segovia, Axl Rose dan lain-lain menyajikan konser dengan penuh kejeniusannya tanpa mengetahui dasar do-re-mi.
J. A. EASLEY (-) menyimpulkan bahwa meskipun prinsip-prinsip metode ilmiah yang diterima oleh sebagian besar ilmuwan tidak selalu membantu pengembangan hipotesis dan merupakan kriteria untuk "menolak" atau "menerima" suatu pernyataan ilmiah, namun metode ilmiah ini adalah penting bagi masyarakat ilmuwan dalam melancarkan "kritik" terhadap suatu penyelidikan dan dalam kegiatan "mendidik" calon ilmuwan.
Walaupun demikian, kita tidak boleh menafsirkan dan mengajarkan metode ilmiah ini secara mati dan ritualistik, seperti juga cara kita dalam mempergunakan berbagai pedoman penulisan untuk skripsi, tesis atau pun disertasi yang berasal dari berbagai universitas, institut, akademi, politeknik, atau sekolah-sekolah tinggi lainnya, tetapi lebih ditekankan kepada logika berpikir dan alur-alur jalan pikirannya. Dengan demikian, maka kita akan mampu menghindarkan berkembangnya cara berpikir yang kaku dan simplistis.
Semoga bermanfaat !
1. Jujun Suparjan Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1990), hlm. 127.
2. Ibid.
3. Ibid., hlm. 128.
4. Ibid., hlm. 130.
Apakah metode ilmiah itu pnting?.
ReplyDeleteTergantung pola pikir kita
Deletemaksudnya gmana mas?
DeleteNambah ilmu ni..
ReplyDeleteNice post sobat...
Terima kasih kawan
Deletemasih suasana lebaran khan,
ReplyDeletejadi nggak apa2 kan kalo aku mohon dimaaafkan lahir batin kalau aku ada salah dan khilaf selama ini,
back to zero again...sambil lirik kiri kanan nyari ketupat....salam :-)
Sama-sama Mas... Mohon maaf lahir bathin ya!
Delete