Komunitas Filsafat™ » Beranda Filsafat » - » Metode Ilmiah (Part. 5)

Metode Ilmiah (Part. 5)

Gaosur Rohim Sunday, September 29, 2013 2 Comments
Metode Ilmiah 5
Teori ilmiah masih merupakan penjelasan yang bersifat sebagian, sesuai dengan tahap perkembangan keilmuan yang masih sedang berjalan. Demikian juga dalam jalur suatu perkembangan yang belum dapat dipastikan bahwa kebenaran yang sekarang diterima oleh kalangan ilmiah akan benar pula di masa yang akan datang. Sejarah ilmu telah mencatat betapa banyak kebenaran ilmiah di masa lalu yang sekarang ini tidak dapat diterima lagi karena manusia telah menemukan kebenaran lain yang ternyata lebih dapat diandalkan. Sifat pragmatis dalam ilmu inilah yang sebenarnya merupakan kelebihan dan sekaligus kekurangan dari hakikat ilmu. Sifat pragmatis dari ilmu adalah cocok dengan perkembangan peradaban manusia, dimana telah terbukti secara nyata mengenai peranan ilmu dalam membangun peradaban tersebut.


Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan-batasan pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, and limits of human knowledge).1) Epistemologi berkaitan dengan penguasaan pengetahuan, dan lebih fundamental lagi berkaitan dengan "kriteria bagi penilaian" terhadap kebenaran dan kepalsuan. Adalah tepat apabila epistemologi dihubungkan dengan metodologi.

Epistemologi pada dasarnya adalah cara bagaimana suatu pengetahuan disusun dari bahan-bahan yang diperoleh, yang dalam prosesnya adalah menggunakan metode ilmiah. Metode adalah tata cara dari suatu kegiatan berdasarkan perencanaan yang matang dan mantap, sistematik dan logis.2)

Pada dasarnya metode ilmiah dilandasi :
  • 1. Kerangka pemikiran yang logis;
  • 2. Penjabaran hipotesis yang merupakan deduksi dan kerangka pemikiran;
  • 3. Verifikasi tehadap hipotesis untuk menguji kebenarannya secara faktual.

Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya, Filsafat Ilmu mengetengahkan akronim metode ilmiah yang dikenal sebagai logico-hipotetoco-verifikasi. Kerangka pemikiran yang logis mengandung argumentasi yang dalam menjabarkan penjelasannya mengenai suatu gejala bersifat rasional. Dalam hal itu hipotesis sebagai deduksi dari suatu kerangka pemikiran merupakan "dugaan sementara", yang untuk pembuktiannya dibutuhkan pengujian, sedangkan verifikasi berarti penilaian secara objektif terhadap suatu pernyataan yang hipotesis. RICHARD L. LANIGAN (-) mengatakan bahwa dalam prosesnya yang progresif dari kognisi menuju afeksi yang selanjutnya menuju konasi, epistemologi berpijak pada salah satu atau lebih teori kebenaran.

Ilmu, terlepas dari berbagai kekurangannya, dapat memberikan jawaban positif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi manusia pada suatu waktu tertentu. Ilmu, memandang kebenaran sebagai tujuan yang mungkin dapat dicapai, namun tidak akan pernah sepenuhnya tangkapan kita itu sampai. Ibarat sebuah asimtot, maka lengkungan kurva mencoba menjamah, namun tidak pernah bersinggungan. Meskipun kita mempelajari metafisika sedalam-dalamnya, namun kita tidak pernah tahu mengenai hakikat realitas yang sesungguhnya. Meskipun kita bersikap se-obyektif mungkin, namun persepsi kita tidak akan pernah lepas dari berbagai faktor subyektivitas.

Tiap langkah kita dalam menempuh (menemukan) pengetahuan yang benar, tentu selalu diintai oleh kekeliruan yang mungkin terjadi. Seperti pernah dikatakan oleh pujangga HASAN MUSTAPA (1849-1930)3): ".... Manusia itu jarang betulnya, kalaupun betul hanya sekedar kebetulan; manusia itu jarang salahnya, kalaupun salah hanya sekedar kesalahan ...."4) Mungkin dalam situasi seperti inilah maka menonjol sekali sikap moral dan intelektual seorang ilmuwan terhadap kebenaran. Kegiatan ilmuwan pada jiwanya merupakan "komitmen moral dan intelektual" untuk mencoba mendekati kebenaran dengan cara yang sejujur-jujurnya.5)

Dalam perspektif inilah, maka penelitian terhadap ilmu tidaklah ditentukan oleh kesahihan (keabsahan) teorinya sepanjang zaman, tetapi terletak dalam kemampuan memberikan jawaban terhadap pemasalahan-permasalahan manusia dalam tahap peradaban tertentu. Merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa pada kurun masa kini kita mempergunakan berbagai kemudahan yang dikembangkan oleh ilmu dan teknologi, misalnya sarana angkutan seperti mobil dan pesawat terbang. Sarana angkutan yang bersifat fungsional tersebut, dalam kehidupan masa kini dikembangkan berdasarkan pengetahuan ilmiah yang kebenarannya diakui pada masa kini. Di kemudian hari, mungkin saja harus diciptakan sarana angkutan lain yang memerlukan teori lain pula untuk mengembangkannya.

Sarana angkutan seperti yang dikhayalkan dalam film Star Trek, dimana zat ditransportasikan ke tempat lain, dengan mengubahnya menjadi energi, tentu saja membutuhkan teori-teori lain yang sekarang dipelajari dan diterapkan dalan industri otomotif dan pesawat terbang. Pada waktu itu mungkin kita telah meninggalkan teori-teori yang dewasa ini kita anggap benar. Hal ini tidak perlu kita risaukan, sebab justru teori-teori yang hidup sekarang inilah yang bersifat fungsional dalam kehidupan kita.

Banyak sorang jenius yang buah pikirannya mendahului zamannya, yang meskipun buah pikirannya itu lebih maju dari pengetahuan sebelumnya, ternyata harus menunggu saat yang tepat untuk menjadikan gagasannya itu bermanfaat. Seperti halnya kita mengenakan baju, maka peradabanlah yang mengembangkan pengetahuan yang cocok untuk zamannya. Namun masalah semacam ini menjadi sangat lain bila dihubungkan dengan hal-hal yang bersifat asasi (mendasar), dimana manusia membutuhkan adanya kemutlakan, dan bukan kesementaraan yang bersifat relatif. Dalam mempertanyakan eksistensi dirinya, tujuan hidupnya, serta berbagai hal yang bersifat asasi lainnya, maka manusia tentu membutuhkan pegangan hidup yang lebih mantap.

Dalam keadaan seperti itu, maka ilmu dengan segala atributnya tidak dapat memberikan "jalan keluar", dan manusia tentu harus berpaling kepada sumber lain, yaitu agama. Ilmu tidak berwenang menjawabnya, sebab hal semacam ini berada di luar bidang penelaahannya. Secara ontologis, ilmu membatasi dirinya hanya dalam ruang lingkup pengalaman manusia. Di luar bidang empiris, ilmu tidak bisa mengatakan apa-apa.6) Sedangkan dalam batas kewewenangnya ini pun, ilmu bukan sesuatu tanpa cela, disebabkan penalaran dan pancaindera manusia yang jauh dari kesempurnaan. Kemajuan manusia tidak bisa diukur hanya dengan perluasan pengetahuan kita, tetapi juga harus diukur dengan bertambahnya kesadaran akan ketidaktahuan kita, yang akan membukakan berbagai kemungkinan yang sampai saat ini mungkin belum terbayangkan.7)

Demikian juga ilmu, yang makin terspesialisasikan, menyebabkan bidang pengkajian suatu disiplin keilmuan makin sempit, yang ditambah lagi dengan berbagai pembatasan dalam pengkajiannya; seperti postulat, asumsi, dan prinsip menciptakan lingkup penglihatan keilmuan makin bertambah sempit pula. Hal semacam inilah yang menimbulkan gejala deformation professionalle,8) yakni perubahan bentuk sebuah wujud dilihat dari kacamata profesional.

Bentuk yang bersifat artifisial ini berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya, disebabkan karena keterbatasan ilmu dalam menangkap sebuah wujud secara keseluruhan. Jadi pada hakikatnya penglihatan ilmu bersifat sempit dan sektoral, yang mendorong manusia untuk melakukan pendekatan multi-disipliner terhadap suatu permasalahan. Pendekatan ini menyebabkan berkembangnya sarana berpikir yang merupakan "kerangka yang mengikat berbagai disiplin keilmuan" dalam melakukan penelaahan bersama, di antaranya adalah Cara Berpikir Sistem.9) Berpikir menurut sistem ini bukanlah merupakan disiplin keilmuan baru, melainkan "sarana berpikir" yang membantu proses pengkajian kita, seperti juga Bahasa, Logika, Matematika, dan Statistika.

Ketidakpuasan kita terhadap lingkup analisis keilmuan yang sempit dan sektoral, janganlah diarahkan untuk mengaburkan batas-batas disiplin keilmuan yang makin lama memang makin terspesialisasikan, tetapi dengan jalan mengikatnya secara federatif dalam suatu pendekatan multi-disipliner. dengan demikian, maka kita tidak mengembangkan teori keilmuan baru, tetapi sarana-sarana berpikir baru. (Penjelasan selanjutnya dalam Sarana Berpikir Ilmiah).

Spesialisasi, meminjam perkataan WILLIAM BARRET (-), adalah harga yang kita bayar untuk kemajuan pengetahuan.10) Pendekatan sistem yang berkembang menjadi paradigma keilmuan setelah Perang Dunia II diharapkan oleh para pengembangnya menjadi "kerangka keilmuan" (the Skeleton of Science)11) yang mampu mengikat berbagai disiplin keilmuan.

Demikianlah kita telah melihat berbagai keterbatasan yang dipunyai ilmu, yang walaupun demikian, kekurangan ini bukan merupakan alasan untuk menolak "eksistensi ilmu" dalam kehidupan kita. Sebab terlepas dari segala keterbatasannya, ilmu merupakan pengetahuan yang telah menunjukkan keampuhannya dalam membangun kemajuan peradaban seperti yang kita lihat sekarang ini. Kekurangan dan kelebihan ilmu, harus kita gunakan sebagai "pedoman" untuk meletakkan ilmu dalam tempat yang sewajarnya (kecuali Isnad Majazi 'Aqli), sebab dengan sikap itulah, kita dapat memanfaatkan kegunaannya semaksimal mungkin bagi kemashlahatan bersama.

Mengatasi segalanya, harus kita sadari bahwa ilmu hanyalah sekedar alat, dan semuanya tergantung kepada kita apakah kita mempergunakan alat itu dengan benar atau tidak. Menolak kehadiran ilmu dengan picik, berarti kita menutup mata terhadap semua kemajuan masa kini, dimana hampir semua aspek kehidupan modern sangat dipengaruhi oleh produk ilmu dan teknologi. Sebaliknya, dengan jalan "mendewa-dewakan" ilmu, hal ini pun menunjukkan bahwa di sini kita gagal untuk mendapatkan pengertian mengenai hakikat ilmu yang sesungguhnya.

Mereka yang memang benar-benar berilmu adalah mereka yang mengetahui kelebihan dan kekurangan ilmu (sebab setiap ilmu tentu mempunyai Mabadi 'Asyroh masing-masing), di atas dasar itu mereka tentu akan menerima ilmu sebagaimana adanya, mencintai dengan bijaksana, serta menjadikan ilmu bagian dari kepribadiannya dalam kehidupannya. Tanpa kesadaran ini, maka kita hanya kembali kepada ketidaktahuan dan kegersangan.

Knowledge is not happines, and science
But and exchange of ignorance for that
Which is another kind of ignorance ....
(Byron dalam Manfred).


Semoga ada manfaatnya....!!!







1. Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 324.
2. Ibid.
3. Seorang pujangga yang banyak menulis dalam bahasa Sunda. Lahir di Cikajang pada tahun 1849, dan meninggal di Bandung pada tahun 1930.
4. Jujun Suparjan Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1990), hlm. 136.
5. Ibid., hlm. 138.
6. Ibid., hlm. 139.
7. Ibid., hlm. 139.
8. William Barret, Irrational Man (New York: Doubleday, 1982), hlm. 5.
9. Jujun Suparjan Suriasumantri, Systems Thinking (Bandung: Binacipta, 1981), hlm. 3.
10. Barret, op. cit., hlm. 6.
11. Kenneth Boulding, "General Systems Theory-The Skeleton of Science", Management Systems, ed. Peter P. Schoderbek dalam Jujun Suparjan Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1990), hlm. 140.








2 comments:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Komentar, kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa kami terima dengan tangan terbuka.
Komentar Anda akan dianggap SPAM jika:
- Menyematkan Link Aktif
- Mengandung dan/atau Menyerang SARA
- Mengandung Pornografi

Tidak ada CAPTCHA dan Moderasi Komentar di sini.

 
Copyright © 2008 - 2014 Komunitas Filsafat™.
TOS - Disclaimer - Privacy Policy - Sitemap XML - DMCA - All Rights Reserved.
Hak Paten Template pada Creating Website - Modifikasi oleh Gaosur Rohim.
Didukung oleh Blogger™.